Bayangkan adegan ini: kamu adalah seseorang 20 something, yang berada di jajaran Generasi Z. Salah satu kegemaran kamu di waktu luang tentunya adalah menikmati musik di streaming service, menyusun berbagai playlist yang kamu tahu akan mendulang likes, karena dengan pengikut Spotify kamu yang mencapai bilangan dua digit dan selera musik yang kamu anggap beda dari yang lain itu, pede hal itu bisa terjadi.

Tapi, ketika kamu lagi seneng-senengnya menelaah berbagai jenis musik, ada seseorang berkepala tiga di luar sana yang sama sekali tidak kamu kenali, bilang kalau selera musik kamu bakal mentok di umur 30 dalam sebuah artikel sepanjang 1,226 kata. Tidak kurang tidak lebih. Katanya, kamu cuma punya 10 tahun lagi buat eksplorasi jenis-jenis musik yang kamu belum pernah denger. Cuma punya 10 tahun lagi sampai akhirnya nanti kamu nggak bisa memperbarui playlist kamu lagi.

Layaknya guillotine, artikel tersebut seperti bilah pisau yang menohok kamu dengan instan. Itu hal yang persis saya rasakan sesaat setelah beres menyelami keseluruhan 3 halaman artikel “Kenapa Selera Musik Kita Mentok di Usia 30 Tahun” gubahan mas Aris Setyawan.

Sebetulnya yang paling menyesakkan buat saya bukan perihal masa penelusuran musik yang seakan diberi timer –walaupun hal ini membuat saya sedikit geram karena om om mana yang berhak memberitahu kapan selera musik saya akan berhenti berkembang? Tapi karena beberapa hal yang disampaikan menurut saya juga benar adanya. Sebuah pil pahit yang sulit ditelan.

Di masa dimana musik semakin mudah diciptakan dan begitu pula dikonsumsi, sebagai pendengar pasti kewalahan dengan keramaian arus konten yang datang secara bersamaan. Mengurut lagu atau album mana yang dihinggapi terlebih dahulu, Menikmati berbagai lagu satu-satu sampai akhirnya menemukan hanya satu lagu yang kamu rasa hanya sekedar “ah oke” dari ratusan rilisan baru yang terbit di minggu itu sampai-sampai jatah skips layanan streaming edisi gratis kamu habis. Sebuah lingkaran setan yang melelahkan dalam basis mingguan.

Sehingga hal yang paling nyaman untuk dilakukan adalah dengan kembali ke zona nyaman yang familiar, menikmati lagu-lagu yang kamu tau kamu suka, kabur dari tekanan harus selalu mengikuti yang teranyar. Ibadah jumat saya setiap minggu pun (baca: buka Release Radar), hanya sebatas mencari rilisan terbaru artis yang udah tau saya suka, karena udah mager (baca: males denger), menghabiskan tenaga buat keluaran terhangat musisi lain. Karena sejatinya musik adalah sarana pelarian bukan? Buat apa mendengarkan musik jika mendapat konsekuensi tekanan yang lebih? Sedih sekali memang, keinginan untuk terus berjelajah malah sudah kian menipis di kisaran umur 20 ini.

Tapi garis kesepakatan terhadap artikel itu saya tarik cukup sampai di sana. Mentok? saya rasa pilihan kata tersebut terlalu ekstrim. Mentok yang menurut KBBI menghimpun arti: tidak dapat terus atau buntu. Masih sebuah misteri apakah judul tersebut dibuat dalam rangka clickbait atau bukan. Menurut saya, umur bukan menjadi penghalang. Klise memang, tapi saya percaya peribahasa tidak ada kata telat dan jika ada niat, pasti ada jalan. Umur 30 tahun masih terlalu awal untuk akhirnya berhenti menjelajahi jagat musik yang kian meluas dan mutakhir. Berhentinya eksplorasi jenis musik tidak seharusnya menjadi komponen dari sebuah quarter life crisis.

Sebutlah saya seorang penyangkal, tapi saya menolak untuk percaya bahwa ketika saya menua nanti, akan terlalu sibuk untuk mengeruk jenis-jenis musik baru. Malah saya rasa hal itu akan menjadi sesuatu yang segar dan menjadi media untuk menghindari rutinitas yang membosankan.

Memang, tidak bisa dipungkiri mungkin nantinya saya akan terjebak di lingkaran setan tadi. Namun saya dengan optimis akan menyertakan beberapa metode yang sekiranya dapat menyiasati hal tersebut, walau tanpa disertai bukti dari sebuah studi atau jurnal apapun.

Konsultasi Kepada Teman
Dewasa ini, gengsi sudah jadi sifat yang amat sangat basi. Tidak ada salahnya meminta bantuan atau usulan kepada teman. Merujuk kembali kepada peribahasa yang sudah usang juga yaitu malu bertanya sesat di jalan, jika tidak meminta bantuan maka akan selalu stagnan dan tidak mengalami pergerakan apapun.

Dengan adanya seorang teman, proses kurasi independen menjadi hal yang tidak menjadi mandat, karena orang tersebut sudah melakukan segala proses penyortiran buat kamu, dengan segala eksplorasi yang sudah mereka lakukan terdahulu. Tentunya, mencari kawan dengan selera musik yang berbeda merupakan cara yang ideal untuk mencari referensi baru, dalam rangka memperluas selera musik. Pertanyaan yang mungkin bisa diajukan contohnya seperti; “Lagu-lagu yang kamu suka sekiranya ada yang cocok di saya nggak ya?” atau “Udah bosen nih, ada nggak saran saya nyoba dengerin apa?”

Seringkali diminta rekomendasi, kawan-kawan selalu dengan riang hati memberikan sederet tembang pilihan. Jikalau yang direkomendasikan dirasa tidak cocok maka tinggal dicarinya yang lain. Malah ketidakcocokan yang lalu akan menjadi konsiderasi sehingga rekomendasi selanjutnya akan lebih disesuaikan.

Secara pribadi pun, akan sangat senang ketika selera musik dijadikan rujukan. Seperti mengenalkan sebagian dari diri kita kepada orang lain. Saya rasa solusi ini bisa berkelanjutan sampai tua nanti dan menguntungkan kedua belah pihak yang sudah sama sama merasa buntu.

Memberi kesempatan kedua
Ingat lagu-lagu yang dulu kamu nggak suka dan lewatin padahal baru sekali denger? Apa kabar mereka sekarang? Beri mereka kesempatan kedua, siapa tau diri kamu yang sekarang bisa lebih menerima. Di kala banyaknya unggahan musik yang akan terus berdatangan, apa begitu salah untuk mencoba menyinggahi kembali yang pernah datang?

Siasat ini terbentuk setelah cerita teman saya yang baru-baru ini sedang terobsesi dengan The Adams. Pendahuluan cerita tersebut ia buka dengan menyatakan bahwa ia dulunya merasa The Adams menggubah lagu-lagu yang sangat monoton, “muter-muter aja” ujarnya. Menelan ludah yang besar, itulah yang ia lakukan sekarang. Kawan saya kini mengisi hari-harinya memutar album Agterplaas, berulang-ulang kali. Bahkan tidak ia coba sembunyikan lewat friend activity Spotify miliknya.

Mendengarkan cerita tadi menyadarkan saya bahwa hal tersebut kerap kali terjadi di diri sendiri. Lagu-lagu yang dulu sekejap dilewati, sekarang bisa dinikmati. saya 6 tahun yang lalu merasa cukup bersama R&B, sekarang dengan bertambahnya tekanan di dalam hidup bisa melampiaskan diri lewat punk rock bak Dead Kennedys. Asumsi saya karena ada perubahan di dalam diri sendiri sehingga menyebabkan lagu lama yang dirasa tidak cocok malah bisa menjadi soundtrack kehidupan kita nantinya. Sok tau memang, tapi saya rasa peristiwa hidup akan menimpa kita tidak pernah ada habisnya. Maka dari itu, akan selalu ada musik yang kompatibel dengan keadaan kita sekarang, dan yang akan datang.

Meski memang, ini berarti tidak mengeksplorasi musik-musik kontemporer termutakhir. Kemudian kendala juga muncul dengan memilah banyaknya karya-karya yang sudah tertimbun di masa lalu masing-masing. Tapi paling tidak, akan lebih mudah untuk ditelaah daripada unggahan karya teranyar yang tiap harinya bermunculan dalam volume ratusan, bahkan ribuan.

Terasa janggal memang jika dalam sebuah daftar hanya mencantumkan dua contoh. Jumlah yang nanggung dan kagok, sedikit menyulut rasa sebal bukan? Tapi mau gimana lagi, memang dalam menyusun berbagai siasat ini juga sudah mentok. Mungkin satu lagi yang bisa diamalkan adalah dengan mencoba mendengarkan musisi-musisi dengan aliran musik yang sudah nyaman di telinga. Tapi ya berarti terjebak di lingkaran genre yang itu-itu lagi juga.

Iya, bisa disimpulkan saya sudah putus asa di sini. Mungkin beberapa dari kalian juga bisa menyadari bahwa hal itu amat sangat kentara dari awal membaca. Apa lagi yang bisa diperbuat ketika sesuatu yang amat sangat senang kamu jelajahi tiba tiba dijatuhi vonis, dalam 10 tahun lagi kegiatan yang kamu senangi itu akan mentok. Pasti akan kamu cari jalan keluarnya kan?