Benten +62, sebuah band asal Denpasar, Bali yang berfokus pada genre alternative rock. Di tahun 2018, band ini hanya beranggotakan dua orang yaitu Ginting dan Acong, tetapi setelah melalui fase pergantian personil dalam rentang waktu 2020 sampai 2022, pada akhirnya band ini memiliki 4 anggota tetap yaitu Ginting (Gitar & Vokal), Dona (Gitar), Edo (Bass) dan Aris (Drum). Nama “Benten” sendiri diambil dari bahasa Jawa Kromo yang artinya “berbeda” sedangkan “+62” adalah kode negara Indonesia. Sejak awal terbentuk, Benten +62 telah berhasil merilis 4 single, sebuah EP bertajuk “And This” di tahun 2019, sebuah album berjudul “Awan Hitam” di tahun 2020 dan baru-baru ini, sebuah mini album berjudul “23 : 27” di tahun 2023 lalu.

Personel Benten +62 (Dok. Press Release)

Mini album “23 : 27” digambarkan sebagai sebuah penemuan, sebuah momen “eureka!” bagi band ini. Mereka telah menemukan identitas suara yang ingin mereka tampilkan dan album inilah identitas itu. Oleh karena itu, proses pembuatan album ini digambarkan sebagai suatu perjalanan yang menyenangkan dan autentik. Sesuatu yang murni milik Benten +62. Memang terasa sepanjang album ini terdapat percobaan-percobaan yang menyenangkan, terutama dalam penulisan lirik yang diadopsi dari gaya romantisme Eropa di mana mereka mengubah kekalutan menjadi romansa yang bisa dinikmati. Lebih spesifik lagi, dikatakan bahwa pembuatan materi di mini album ini diadopsi dari gaya penulisan Seno Gumira, penulis kumpulan cerpen yang bertajuk “Penembak Misterius.”

Kekalutan apa yang diromantisasi dalam “23 : 27”? Tidak jauh-jauh dari makanan sehari-hari kebanyakan insan di dunia ini, yaitu “quarter life crisis.” Periode umur di mana muncul sebuah pemikiran bahwa hidup kita tidak terarah, tidak ada ambisi, tidak ada tujuan dan hal tersebut menjadi bagian dari rutinitas. Maka, melalui mini album ini, Benten +62 mengajak pendengarnya untuk hidup dengan kesungguhan hati dan berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

Mini album ini dibuka dengan lagu “Semua Awan (Semua, Hari)” yang penuh energi berkat permainan drum oleh Aris yang penuh variasi. Sayangnya, lagu pertama ini sudah menunjukkan bagaimana penulisan di mini album ini dihantui oleh klise band indie Indonesia yaitu saking puitis liriknya sampai tidak tahu arahnya kemana. Tetapi setidaknya energi yang dibawa dalam lagu ini berhasil membuktikan posisinya sebagai lagu pembuka dan membuat saya bersemangat untuk mendengar lagu-lagu berikutnya.

Lagu kedua di tracklist yaitu single pertama dalam mini album ini yaitu “Terbang Menghilang, Semua Melaju.” Kesuksesan single ini menjadi bukti bahwa Benten +62 telah menghasilkan sesuatu yang magis. Mereka mampu membangun atmosfer yang membuat pendengarnya seakan-akan sedang berbaring di bawah lautan bintang, berkontemplasi mengenai hidup dan hiruk-pikuknya. Saya juga sangat menyukai penulisan di lagu ini karena liriknya simpel tapi sangat pas dan tepat sasaran untuk menggambarkan keresahan yang dialami seseorang yang tidak tahu arah hidupnya kemana, sebuah keresahan yang mengganggu hidup orang-orang yang termasuk kategori umur “quarter life,” sesuai tema yang diangkat. Adanya unsur “bercerita” juga berhasil membuat lagu ini terkesan relatable karena mampu menggambarkan situasi dimana pikiran-pikiran ini biasanya muncul.

Selanjutnya ada lagu yang berjudul “Menjadi Gelap, Malam Yang Dingin.” Saya berusaha memahami liriknya dan satu-satunya kesimpulan yang bisa saya maknai adalah kesedihan karena ditinggalkan seseorang. Dari segi musik, mixing di lagu ini terlalu redam dan ngebass sehingga suara gitar menjadi tenggelam. Selain itu, menurut saya mixing sebaiknya membuat kesan yang lebih luas alih-alih lebih ketat karena hal itu akan lebih cocok dengan rasa yang ingin disampaikan.

Lagu keempat yaitu “Tetap Sandarkan, Celah” dan di lagu inilah keresahan saya mulai naik ke permukaan. Walaupun tidak terlalu saya pedulikan di lagu-lagu sebelumnya, tetapi gaya vokal Ginting yang menurut saya kurang memiliki rasa dan emosi sehingga terkesan seperti seseorang yang kurang niat tetapi disuruh membaca teks dengan nada lumayan menonjol secara negatif di lagu ini terutama karena vokal menjadi fokus utama. Perpaduan vokal dengan suara dua di verse terakhir lagu juga kurang mulus dan malah terkesan berantakan. Masalah ini berlanjut ke lagu berikutnya yaitu “Ranum, Kelabu Di Utara” dimana selain kurang feel-nya, dari segi mixing suara vokal juga gagal bercampur dengan suara instrumen. Secara struktur, lagu ini cukup menarik. Saya sangat menyukai keputusan untuk menambahkan narasi (menurut saya lebih cocok disebut narasi ketimbang dialog) di tengah lagu. Tetapi secara eksekusi menurut saya lagu ini bisa lebih rapi dan lebih memiliki rasa. Pengulangan kata-kata yang sama sepanjang album juga mulai membosankan di titik ini.

Lagu terakhir di mini album ini bertajuk “Tuju Langkahmu, Kemanapun” dan dari segi lirik, menurut saya lagu ini yang paling menarik di antara lagu lainnya. Penuh pertanyaan yang justru menjadi pesan bertabur harapan, sebuah jaminan bagi pendengar terutama mereka yang sedang dihadapi dengan sesuatu yang begitu menakutkan: umur 25 tahun. Tetapi, di sisi lain eksekusinya kurang. Volume vokal tidak konsisten. Ada beberapa kata yang benar-benar tenggelam sehingga sulit untuk memahami apa yang sebenarnya sedang dibicarakan. Saya tidak tahu jika memang konsepnya seperti orang yang kadang jauh, kadang dekat, tetapi saya cukup menyayangi keputusan ini karena saya lumayan tertarik untuk mendengarnya apalagi setelah membaca lirik sebenarnya. Selain itu, keputusan untuk menjadikan lagu dengan struktur yang terkesan seperti “interlude” ini sebagai lagu penutup cukup mengecewakan bagi saya. Hanya satu pertanyaan yang ada di pikiran saya ketika lagu ini selesai: “that’s it?” Saya mengapresiasi usaha bonus track di akhir yang berjudul “Kisah Pelarian” untuk mengembalikan semangat mini album ini, tetapi tidak ada hal yang bisa dikomentari selain ya, lagu ini terdengar seperti lagu dari mini album “23 : 27.”

Mini album “23 : 27” terkesan seperti karya yang setengah jadi dan jika inilah identitas tata suara Benten +62, maka band ini butuh suara yang lebih distinct, yang lebih jelas kekhasan atau keunikannya karena warna dalam mini album ini tidak jauh berbeda dari band alternative rock lainnya. Penulisan lirik terkesan repetitif dan terlalu berputar-putar. Gaya bernyanyi sang vokalis juga kurang cocok dengan kesan yang ingin disampaikan. Tetapi lagu “Terbang Menghilang, Semua Melaju” menunjukkan potensi Benten +62 yang sebenarnya bisa menjadi begitu “wah!”. Harapannya suasana seperti yang dihasilkan lagu itulah yang harus dikembangkan dan ditonjolkan pada karya-karya mereka di masa depan.