Bandung seakan tidak pernah kekurangan band gahar di kancah skena musik Indonesia, terutama skena indie. Kota yang sering disapa dengan istilah kota kembang ini seolah-olah memiliki sumber daya kreativitas yang tidak pernah habis sehingga seringkali ditemukan band-band yang underrated. Namun, bagi saya bandung itu melambangkan dua hal, yakni kuliah dan hardcore.
Mungkin kedua kata tersebut memiliki arti yang berlawanan. Tetapi tanpa mendengarkan hardcore, kegiatan perkuliahan saya rasa-rasanya akan hambar. Saya mengerti kalau beberapa dari kalian mungkin akan bertanya-tanya “Apa enaknya mendengarkan hardcore?” atau “Apa nggak capek dengar sang vokalis teriak-teriak?”. Menurut saya, hardcore itu masih bisa dinikmati lagunya, baik dari aspek riff-nya maupun dari isi liriknya.
Bicara soal Bandung dan hardcore, kira-kira rilisan band hardcore apa yang paling underrated pada saat ini? Saya hanya bisa menjawab rilisan EP “Self-Acceptance” yang dirilis oleh band hardcore asal kota kembang, yaitu PUNITIVE.
PUNITIVE merupakan kuintet hardcore asal Bandung yang berformatkan Faiq Nurfratama (vocal), Reza Septian (guitar), Oki Nugraha (guitar), Anggara Pandu (bass), dan Oktav Mutter (drums). Sebelumnya, PUNITIVE telah merilis tiga single dengan judul “Time Seeker”, “De:serve”, dan “White Lies” yang berkolaborasi dengan frontman dari Alone at Last, Yas Budaya.
Setelah merilis tiga single tersebut, band hardcore asal kota kembang ini kembali menciptakan sebuah EP yang memiliki representasi tentang berdamai dengan diri sendiri. Maka, mereka merilis EP “Self-Acceptance” yang berisikan lima lagu pada Rabu (23/2). Di dalam EP tersebut, terdapat rilisan baru seperti “Another Rain” dan “Thou”.
EP ini mengusung nuansa bunga yang dibalut dengan warna pink dan ungu pada konsep artwork-nya. Konsep dari EP ini seakan-akan mematahkan stigma warna hardcore itu sendiri, di mana setiap artwork-nya terdapat gambar tengkorak, burung gagak, dan warna hitam.
Konsep penulisan lirik dalam EP ini terkemas dalam bahasa inggris dan menggunakan vokal scream. Dalam durasi tiga sampai empat menit, pemilihan diksi pada penulisan lirik dibuat se-relate mungkin agar mudah dicerna pendengar, cocok sekali bagi kalian yang ingin mengulik genre hardcore.
Teknik sang vokalis ketika menyanyikan setiap rilisan EP tersebut terkesan dapat memberikan energi dan penekanan dalam penyampaian pesan. Warna vokal dari rilisan EP ini tidak dapat dianggap remeh karena tinggi dan rendahnya scream dari Faiq dapat dikemas dengan rapi dan tidak mengecewakan. Ambiance dari EP ini membuat saya teringat dengan salah satu band dari luar, seperti Knocked Loose dan Foreign Hands.
“Bagi saya pribadi, Self-Acceptance merupakan monumen penerimaan atas kesalahan yang lalu sebelum dapat melangkah menuju babak yang baru,” tutur Faiq sebagai penulis lirik dan vokalis dari PUNITIVE.
EP ini juga menuangkan riff-riff yang catchy pada setiap rilisannya sehingga terdengar adanya melodic pada riff gitarnya. Notasi dalam EP ini membuat saya teringat pada albumnya Modern Guns “The Place Where I Left You” (2016). Namun, keunikannya yang tinggi berkat rendahnya vokal dikombinasikan dengan adanya ketukan double pedal membuatnya seakan terdengar samar-samar.
Proses pengerjaan EP ini digarap di Rebuilt Studio, Bandung oleh Reza Septian (guitar) dan dirilis oleh 40124 Records. Dari setiap hasil rilisannya, EP ini terdengar begitu rapi dan gaharnya terdengar secara maksimal. Setiap rilisan tersebut meninggalkan kesan dari ketukan drumnya yang terasa penuh dan ciamik.
EP ini melewati proses yang cukup membanggakan karena setiap rilisannya dapat menghasilkan tone suara dan irama yang cepat tapi mengasyikan. Dapat dikatakan bahwa EP ini meninggalkan kesan yang mengejutkan ketika kita mendengarkannya melalui platform digital. Saya menunggu EP ini dibawakan secara live, apakah soundnya dapat maksimal seperti dalam hasil rekamannya? Bagi kalian yang ingin merasakan kegaharan dan menikmatinya, rilisan EP “Self-Acceptance” telah hadir dan dapat didengar pada berbagai platform digital.