Tentang perubahan dan penantian akan tanda pada perjalanan yang kelak akan memberikan jawaban dari seluruh pertaruhan kehidupan.
Hiatus Mantra adalah band yang bergelut di genre stoner doom dari Malang, Indonesia. Apa yang pada tahun 2018 hanya sebatas proyek solo Erfansyah Anandata, sejak tahun 2021 lalu hingga sekarang telah menjadi band dengan formasi lengkap yaitu Erfansyah (Gitar & Vokal), Duriat Permono (Bass) dan Yasa Wijaya (Drum). Musiknya pun juga ikut bertransformasi dari yang tadinya rock alternative/post grunge sekarang belok sedikit ke arah stoner doom/doom metal.
“Marka Titimangsa” yang dirilis pada tanggal 31 Juli yang lalu merupakan single keempat dari mereka dan juga merupakan bagian dari album berisikan 12 lagu yang akan dirilis di waktu mendatang. Lagu ini merupakan sebuah “persembahan” atas apa saja yang pernah dilakukan untuk sebuah kepasrahan yang buram hingga tiba waktunya segala pertanyaan akan mendapatkan jawaban. Dari maknanya terlihat bahwa lagu ini lebih “personal” dibandingkan dengan single-single sebelumnya dan berkenaan dengan keadaan banyak orang yang sedang melalui pahitnya kehidupan.
Inspirasi komposisi dari band-band seperti Candlemass, Monolord, Eyehategod hingga High on Fire terdengar jelas dalam sound lagu ini. Sungguh hebat bagaimana band yang hanya beranggotakan tiga personil ini mampu menghasilkan suara yang begitu luas dan padat, dengan frekuensi rendah yang kuat dan ritme yang seakan-akan “memukul” pendengarnya. Produksi yang ahli mampu memberikan setiap elemen instrumen di lagu ini ruang untuk menonjol. Struktur lagu yang tidak biasa juga menambah unsur ketidakpastian yang dapat membuat pendengarnya “menebak-nebak” apa yang akan terjadi selanjutnya. Rasa penasaran mereka pasti terbayarkan dengan adanya breakdown yang joss di tengah lagu.
Komposisi instrumen yang mantap membuat saya sedikit kecewa ketika vokal mulai masuk. Saya yakin akan kehebatan kemampuan vokal Erfansyah yang jelas tampak saat dia mendemonstrasikan bagaimana dia bisa melakukan growl yang rendah dan ganas, kemudian mengenai nada F4 dengan mudah mendekati akhir lagu. Sayangnya, itu semua hampir tenggelam di balik efek vokal yang cenderung berlebihan hingga terkesan mengganggu. Kekuatan vokal yang seharusnya bisa maksimal justru ditahan oleh efek berlapis-lapis yang tidak perlu. Pemaknaan lirik juga terkena dampaknya karena jika lagu ini didengar tanpa membaca lirik, sepanjang lagu pendengar akan bertanya-tanya apa yang sedang diucapkan.
Pemilihan kata-kata yang puitis di satu sisi berkontribusi pada unsur keindahan. Tetapi di sisi lain, kepuitisan yang eksesif justru menyebabkan lirik secara keseluruhan menjadi kurang koheren. Hal ini mengaburkan pesan yang sebenarnya ingin disampaikan dalam lagu ini sehingga akhirnya maknanya menjadi membingungkan. Pada akhirnya saya menyerah untuk mencoba menghubungan penggalan lirik yang satu dengan apa yang baru diucapkan sebelumnya. Hal ini saya tidak temukan di single-single sebelumnya seperti “Getih” dan “Pandemi & Oligarki” yang maksudnya bisa tersampaikan dengan jelas dan frasa-frasanya tidak terkesan “asal.”
“Marka Titimangsa” merupakan lagu yang bisa dinikmati para penggemar genre stoner metal, doom metal, dan yang serupa. Sound yang besar dan “menghantam” membuat pengalaman mendengarkan lagu ini menjadi berkesan, apalagi jika menggunakan headphones. Sayangnya saya tidak begitu setuju dengan keputusan-keputusan yang diambil mengenai vokal dan lirik yang kurang berhasil dalam menyampaikan pesan yang saya rasa dibutuhkan banyak orang saat ini.