Bali memang tidak pernah gagal dalam menunjukan keindahannya untuk mata, telinga, dan jiwa semua orang. Tiga manusia kreatif asal Bali yang terdiri dari Man Angga, Kupit, dan Cok Bagus bersatu menciptakan sebuah band bernama Nosstress di tahun 2008. Band ini pada awalnya berisikan tujuh remaja dari SMA 7 Denpasar. Dengan niat awal untuk meng-cover lagu-lagu kesukaan mereka lalu ditambah dengan sentuhan-sentuhan akustik, cafe-cafe sekitar Bali lah yang menjadi saksi awal karir Nosstress di dunia musik hingga akhirnya band aliran musik folks ini berhasil mewarnai industri musik Indonesia.

Kepedulian terhadap tempat tinggal lah yang menjadi inspirasi setiap karya Nosstress, seperti Bali yang pernah terguncang karena adanya Reklamasi Teluk Benoa. Nosstress hadir dan ikut berkontribusi dalam Tolak Reklamasi Teluk Benoa lewat karya musiknya. Selain itu, Nosstress juga memiliki prinsip yaitu hanya menerima tawaran acara musik yang tidak menggunakan plastik selama rangkaian acara.  Hal tersebut membuat Nosstress memiliki karakteristik yang kuat dalam hal merawat dan mencintai alam. “Di Bali ada banyak masalah, saya nggak bisa tutup mata dari itu, nggak bisa untuk nggak peduli,”  ucap Bli Ikomang Guna Warma yang memiliki nama panggung yaitu Kupit, saat wawancara bersama Masyarakat Audio Amatir di Kanal Youtube Masyarakat Audio Amatir.

“Intimate Talk : Guna Warma (Guna Warma)”

Diawali dengan tujuan yang sederhana namun mulia, Perspektif Bodoh Vol. 1 lahir sebagai album perdana tepat di bulan Oktober tahun 2011. Satu persatu karya diciptakan dan perlahan menggiring Nosstress menjadi sebuah band yang dapat menginspirasi banyak pendengarnya. Bli Angga menjelaskan arti nama dari album pertama ini di website resmi Nosstress. Menurut beliau, Perspektif Bodoh Vol. 1 itu diartikan sebagai cara memandang masalah lewat kesederhanaan karena kadang kita justru bisa menemukan inti masalah dengan memandang secara sederhana saja. 

Menurut gue, ucapan sang gitaris sekaligus vokalis dari Nosstress itu sangat relevan dengan situasi yang sedang kita alami sekarang. Oleh karena itu, gue mau membahas salah satu lagu berjudul “Semoga Hanya Lupa” dalam album Perspektif Bodoh Vol. 2 yang rilis 3 tahun setelah album pertama mereka. Rangkaian kata yang sederhana pada lagu “Semoga Hanya Lupa” ini berhasil diramu menjadi sebuah karya yang punya makna hebat. Logat khas masyarakat Bali yang mengisi vokal lagu ini dipadu dengan instrumen gitar, cajon, dan dipercantik oleh Cok Bagus saat mulai meniup pianikanya, ahh gila! Setiap baitnya berhasil memberikan suasana tenang dan kesederhanaan bagi setiap telinga dan hati pendengarnya. Lagu ini dapat menjadi obat penenang sekaligus pengingat kecil untuk kita semua kalau pandemi yang sedang melanda hidup semua kalangan manusia saat ini ada karena memiliki tujuannya tersendiri. Beberapa penggalan lirik dari lagu ini dapat membuat kita berhenti menyalahkan sekitar kita dan mulai melihatnya dari diri kita sendiri.

Dari segi pemilihan liriknya, lagu ini dibuka dengan lirik yang menceritakan rasa nyaman dan tenang yang dapat kita rasakan karena adanya teman kita, bumi. Dulu manusia bebas berjalan keluar rumah tanpa perlu menutupi mulut dan hidungnya untuk menghindari polusi asap kendaraan, dimana-mana dapat kita temukan hijaunya pepohonan yang menghiasi birunya langit. Seiring berjalannya waktu, keadaan berubah karena sikap kita yang tidak bertanggung jawab. “Semoga Hanya Lupa” seperti berhasil membawa kita dalam sebuah cerita akan indahnya hubungan manusia dengan alamnya sebelum pada akhirnya kita melupakannya.

“Kita lupa ‘tuk menyayanginya, kita hanya ingat menikmatinya.

Kita lupa ‘memeliharanya, dan kita lupa Ia sahabat kita.”

Salah satu penggalan lirik yang gue pilih dari lagu “Semoga Hanya Lupa” dapat mengingatkan kita, sudah berapa banyak yang kita dapatkan dari bumi tempat kita tinggal namun kita tidak pernah berusaha untuk menyayanginya.  Udara tanpa kita bayar yang setiap hari kita hirup agar tetap bisa bertahan hidup, tapi tetap saja banyak orang seenaknya merusak ekosistem udara di luar sana. Pepohonan yang berdiri gagah selayaknya seorang ayah melindungi anak-anaknya dari buruknya hujan yang berlebihan, tapi masih banyak orang yang seenaknya menebang pepohonan di luar sana. Jernihnya air sungai yang menjadi sumber pangan manusia dan tanaman sudah terlanjur dirusak  oleh perusahaan-perusahaan yang tidak bertanggung jawab dengan limbahnya.

Betul kan kata Bli Angga? Kita dapat menemukan inti masalah dengan memandangnya secara sederhana. Lagu ini seakan mewakili dialog yang seharusnya bumi ucapkan pada kita jika ia bisa berbicara, Pandemi yang terjadi saat ini ada dengan tujuan untuk memanjakan bumi yang sudah selalu berjuang tapi tidak pernah mendampinginya dengan perjuangan yang sama oleh kita dan memberikan waktu untuk manusia mengintrospeksi dirinya lalu belajar dari pengalaman. Sekarang kita harus rela membiarkan tempat tinggal kita satu-satunya rehat dari segala kegiatan jahat manusia. Karya trio folks asal Denpasar yang diciptakan sejak 6 tahun lalu ini ternyata punya makna yang berlaku selamanya.

Tepat sebulan lalu, Nosstress merilis lagu berjudul “Saling Bantu”  yang menceritakan tentang keadaan Pandemi Covid-19 yang sedang melanda kehidupan manusia. “Manusia memang sedang terpuruk, tetapi tidak kemanusiaan. Manusia memang sedang terpuruk, tapi bumi sedang membaik”. Salah satu penggalan lirik pada lagu tersebut menjelaskan bahwa kita semua melewati ini bersama-sama, jangan sampai rasa kemanusiaan kita hilang. Kita harus tetap peduli dengan sesama dan membiarkan bumi menjadi lebih baik lagi. Jika kalian ingin mendengarkan single tersebut, dapat didengar melalui platform musik kesayangan kalian.

Dea Aurelia

Universitas Padjadjaran