Peran Musik dan Karya Suka-Suka

Dahulu kala, hiduplah masyarakat dalam sebuah negeri dengan kebebasan berekspresi yang tinggi. Setiap kelas dan golongan saling mengisi. Masing-masing memegang idealisme dan profesionalitasnya sendiri. Aman-aman saja, bahkan untuk mereka yang menjadikan musisi sebagai profesi. “Negeri itu bernama “Masa Lalu” dan sudah mati,” sabda seorang nabi dalam sebuah kitab suci.

Suatu hari, mungkin anak-cucu negeri kita yang dicintai sebagian besar rakyatnya ini akan mendengar kisah itu. Jika daftar 5 pasal baru dalam Rancangan Undang-Undang musik yang ramai diperbincangkan begitu saja disahkan. Setelah disahkannya UU ITE yang masih cacat dan bersifat “karet”, kini “mereka” berulah lagi. Pasalnya, rancangan ini bakal memberikan efek total untuk masyarakat luas, bukan cuma musisi.

Mengapa? “Music the great communicator,” sepenggal lirik “Can’t Stop” dari Red Hot Chili Peppers. Maknanya, apa yang disampaikan pelantun musik dalam karya adalah perwakilan suara dan emosi pendengarnya juga. Jika negera punya rezim dan pemerintah bersama jajaran pejabatnya, negeri juga punya musisi yang bersuara lantang dan penggemarnya. Sudah banyak contoh grup musik lokal yang kritis dan mewakili betul keresahan rakyat. Dari musisi komersil hingga under the radar.

Tidak seluruh poin dalam RUU bakal dibahas dalam artikel ini. Dengan niat kritis terhadap rezim, tulisan ini adalah bentuk urgensi dan kebebasan penulis dalam berpendapat (terutama musik lokal), agar tak ada pembungkaman di setiap lini. Hanya membahas apa yang perlu dibahas, mohon dibaca dengan sikap dingin. Ini cuma opini pribadi kok, sila ilhami dengan cara masing-masing.

Poin pertama yang paling menjengkelkan adalah ide pelarangan dalam proses kreasi. Jika sah, musisi kita gak boleh lagi menulis lirik tentang narkotika dan pornografi yang dalam kenyataannya dua hal ini masih abu-abu. Jangan naif, paksa rekan aparatmu untuk jujur siapa yang memegang penting peredaran narkoba di negeri kita. Belum lagi, pornografi yang biasanya awam di antara nilai-nilai seni di khalayak umum.

Poin lainnya, memang kenapa kalau melawan hukum? Kalau memang ada hukum yang pantas dilawan, kenapa enggak? Nah, di sinilah musik memiliki nilai katarsisme yang tinggi. Gak semua orang berani melawan dan angkat bicara mengenai hukum. Beberapa orang bisa menuliskan penolakannya terhadap hukum dalam sebuah karya, salah satunya dalam bentuk lagu. Atau setidaknya perasaan bebal mereka ini disuarakan oleh musisi yang mereka idolakan. Siapa pun dan bagaimana pun prosesnya. Yang jelas mengurangi sedikit gejala stres.

Di luar hukum, musik bisa menjadi senjata teraman untuk melawan ide konservatif lainnya. Benar-benar aman tanpa melukai fisik apa pun. Dalam sebuah wawancara dengan The New Times, Massamba Intore menuturkan, “Pistol saja tidak cukup, karena gak bisa bicara. Oleh karena itu, musik memainkan peran penting. Itu membuat orang mengerti apa yang mereka perjuangkan dan mengapa mereka berjuang.” Beliau adalah seorang musisi yang serta membantu banyak perubahan di negaranya, Rwanda melalui medium bernama musik.

Lagu provokatif dengan konsep yang apik itu keren dan susah untuk dibuat. Gak sembarang orang bisa. Mereka yang bisa membuat musik semacam ini biasanya orang-orang cerdas. Kita gak bisa membiarkan orang-orang ini dibungkam. Ya, masalah negeri ini adalah “Orang pintar tapi takberpijar,” seperti Rajasinga, trio greencore nyatakan dalam salah satu lagu dalam album terbarunya. Lagi pula, dengan menumpuknya permasalahan negara ini, iseng banget kayaknya RUU dengan bunyi ayat yang konservatif ini disusun.

Hal-hal ini sama lucunya dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang 45 lainnya. Rancu dan selalu ada saja kecacatannya. Ditambah lagi, RUU musik ini terkesan membunuh beberapa makna yang dituliskan dalam UU 45 pasal 28. Salah satu UU yang sampai hari ini prakteknya masih “bertuan” untuk mereka yang berada di pihak kubu tertentu.

Ada juga poin lainnya yang ambigu. Poin di mana kita dilarang membawa pengaruh budaya asing. Negatif atau postif itu sifatnya lentur. Mari kita sedikit sentil budaya dalam konteks musik. Ada apa dengan budaya asing ketika budaya kita sendiri masih “gila”? Jika Bob Marley dan Sleep membawa budaya penggunaan ganja dan dianggap berbahaya, dangdut di beberapa daerah dengan pesta seks bebas masih menjamur begitu saja. Menurut pendapat pribadi, poin ini bakal bibit xenophobia, melihat antarsuku bangsa sendiri saja bisa saling membenci.

 

Kompetensi Profesi Musisi?

Kebijakan paling tengil dalam poin yang tertera pada pasal-pasal itu adalah pembahasan mengenai keprofesian. Apa yang terjadi jika seorang musisi harus memiliki sertifikasi resmi? Seperti apa uji kompetensi yang di lakukan? Indikator yang ditulis dalam pasal yakni, “pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman”, bagaimana cara mengukur ketiga indikator itu?

Bayangkan suatu hari kamu membuat sebuah helatan di kampus, sekolahan, atau di mana pun itu. Acaramu itu resmi dilengkapi surat birokrasi, perizinan, dan perintilan administrasi lainnya. Kamu mengenenal seorang pelantun lagu yang keren dan niat untuk mengundangnya meramaikan panggung. Di tengah perhelatan, acaramu diberhentikan karena orang tersebut gak tersertifikasi. Ya, semacam SIM atau KTP gitu mungkin ya.

Apakah uji kompentensi musisi harus daftar dan menyertakan biodata kepada panitia? Misalnya data administrasi tersebut digunakan untuk proses ujian melalui lisan dan praktek. Semacam UAS di sekolah atau di kuliah. Kayaknya ada beberapa musisi yang takut terhadap beberapa panitia ujian yang terkenal galak. Ya, ini semacam anak sekolah yang takut sama guru agamanya.

Jika yang dipertaruhkan dalam uji kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman. Penulis akan mengurungkan niat jika ingin menjadi musisi. Meski pun sering mengkritik beberapa musisi, penulis sendiri yakin bakal gagal di ujian ini. Dan kalau gagal, harus coba lagi tahun depan gitu atau pindah tempat? Semacam X Factor, Idol, Got Talent, atau tes Pegawai Negeri Sipil.

Siapa yang mampu mengakui dirinya hebat dalam dunia musik? Bahkan orang-orang terhormat sekelas Remy Sylado, Wendi Putranto, hingga almarhum Jockie Soerjoprajogo saja masih banyak yang gak setuju. Dan satu hal penting: pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman musik digunakan untuk berbagi kepada kita yang ingin dan perlu tahu, artinya kita bisa saling membangun lewat situ. BUKAN UNTUK DIUJI.

Di samping semua masalah itu, kita harus mengakui keadaan kancah musik di Indonesia hari ini. Setelah para pejuang indie label berhasil meruntuhkan kerajaan major label, musik negeri jadi lebih maju dibanding sebelumnya. Kini, gak relevan lagi membicarakan band indie atau major, semua tergantung “profesionalitas”. Musisi mana pun bebas berkarya, bahkan bisa dibilang bebas kurasi. Ya, karya suka-suka, masing-masing punya peran. Fenomena ini juga memunculkan banyak produser, dokumenter, dan teknisi musik hebat yang sebelumnya gak muncul ke permukaan

Bukan berarti gak ada lagi masalah yang dihadapi dunia musik kita sekarang. Masih ada masalah seperti mentalitas dana sponsor pengendali dekor; senioritas berlebihan; masih minimnya ruang kreasi di beberapa kota, terutama di kota-kota kecil; dan masih banyak lagi. Maka, RUU musik baru ini cuma menambah beban baru pada pencapaian hebat kancah musik kita dengan cara yang kuno. Lebih baik pemerintah merancang ulang regulasi tentang hak cipta, proses industri kreatif, dan melihat peluang-peluang yang bisa dicapai lebih lanjut dari pencapaian yang sudah ada. Bukan membungkamnya.

Kalau pun tidak meregulasi ulang hal yang menyangkut soal musik. Setidaknya buatlah kebijakan lain negara yang lebih bermanfaat. Misalnya, kasih dana ke LGN untuk meneliti ganja medis lebih lanjut, kumpas tuntas setumpuk permasalahan HAM yang gak kunjung usai, atau setidaknya perbaiki dulu RUU mengenai kekerasan seksual. Lah, ini berlagak betul melarang musik yang mengandung kekerasan tersebut, konteksnya luas. Sebagai negara dengan budaya komunikasi konteks tinggi, pemerintah kita atau apa pun itu rasanya gak cukup pintar.

Singkatnya, beberapa rancangan tersebut hanya membuat musisi negeri merasa dicekik di rumah sendiri. Karena merekalah gerbang lain untuk bangsa ini, jangan biarkan mereka hara-kiri.

Tapi para perancang gak perlu malu telah merancang rumusan pasal yang ambigu ini. Mungkin kita – penikmat dan pendengar – musik yang harus malu, jika kita berhenti berkarya dalam situasi apa pun. Kritis boleh, skeptis boleh, fasis jangan.

 

Ditulis Oleh: Bani Hakiki

Artwork: Aliya Nurfakhira