Setelah menyampaikan lika-liku kehidupan Julian Day di mini album Scenarios: A Short Film by Elephant Kind (2014) dan Promenades: A Short Film by Elephant Kind (2015), kini Elephant Kind hadir tanpa bayang-bayang Julian sebagai tokoh utamanya. Julian Day merupakan seorang tokoh fiktif yang cerita kehidupannya dibuatkan album oleh band yang digawangi Bam Mastro (vokalis & gitaris), Bayu Adisapoetra (drummer) dan Kevin Septanto (bassist). Dilansir dari wawancara singkat mengenai album The Greatest Ever yang diunggah di kanal Youtube milik Elephant Kind, album ini adalah album yang menurut mereka ‘least ambitious’ dan bahkan tidak berkonsep. Berbeda dengan album-album sebelumnya yang menggunakan konsep hidup Julian Day. Bassist baru Elephant Kind pun ikut bercerita mengenai materi album ini yang bisa dibilang ‘raw’ dan dalam proses pembuatannya tidak dipengaruhi oleh band-band hip hop yang biasa dijadikan kiblat oleh Elephant Kind.

 

“Seperti album-album band tahun 60-70an saja, tidak berkonsep. We just compile some songs and put it into an album.”

 

Album ini dibuka dengan lagu yang berjudul “One”, jika dilihat secara awam lagu ini memang menceritakan tentang sepasang kekasih yang harus berpisah karena salah satu dari mereka sudah tidak bisa lagi berada di dalam hubungan tersebut dan pihak lainnya memasrahkan keputusan tersebut. Namun, setelah saya menyaksikan wawancara mengenai album ini, Bam Mastro mengatakan bahwa kebanyakan lagu pada album ini menceritakan tentang mengapa dan bagaimana Dewa Pratama, guitarist/keyboardist yang telah tergabung sejak awal meninggalkan mereka. Saat dibaca lagi lirik pada lagu ini, ada beberapa bagian lirik yang menunjukkan kepasrahan Bam pada keputusan Dewa. “I’ll leave it all to you, I brought it up to you, when we talk it wouldn’t last, I’ll stop finding you, Stop chasing after you.

Sama kasusnya dengan lagu “One”, lagu “I Believe In You” juga terasa seperti lagu perpisahan yang terasa bittersweet. Sekilas Anda akan merasakan bawa lagu ini menceritakan kisah romansa tragis di mana salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya secara sepihak. Lebih parahnya, meninggalkan saat semuanya sedang baik-baik saja. Sekali lagi, dalam lagu ini ditunjukkan kepasrahan pihak yang ditinggalkan atas kepergian pihak yang lain. “Got to let you go, we all need to grow. Though I do believe in you.” Namun, lagu ini bukanlah sekadar lagu break-up biasa. Setelah ditelisik lebih dalam, lagu ini ternyata dibuat khusus untuk Dewa Pratama. Ia memang sempat absen dari Elephant Kind selama tahun 2018, dan kemudian memilih untuk meninggalkan band ini pada akhir tahun 2018. “You never had to stay so what took you so long to decide?” dari penggalan lirik ini, bisa dilihat kejengkelan anggota Elephant Kind terhadap Dewa Pratama seraya berkata, “Yaudah, kalo lo emang enggak mau lanjut. Kenapa harus mengulur-ulur waktu?”

Lalu, disambut kita dengan lagu selanjutnya, “Pleaser”. Lagu yang bertempo cepat dan membuat Anda ingin berdansa ini membuat saya merasa seperti sedang bertualang. Rasanya seperti ada di awal sebuah perjalanan. Seperti lirik yang dituliskan oleh Bam Mastro, pada lagu ini saya rasa ia sedang merasa overwhelmed dengan sesuatu atau seseorang. Di dalam lagu “Pleaser” ada satu bagian lirik yang sangat menarik perhatian saya yaitu, “But PIM is my favorite mall. They got the prettiest girls, I’m out of my mind.” Gimana nih, teman-teman setuju tidak dengan pendapat Bam Mastro ini?

Bam Mastro memang terkenal dengan keunikannya dan pemilihan kata untuk lagunya. Saya rasa ia mampu meromantisasi hal apa pun karena lagu yang akan saya bahas setelah ini adalah “Watermelon Ham”. Apa yang Anda pikirkan saat mendengar lagu ini? Saya sendiri merasa lagu ini mengenai pasangan yang tidak bisa bersatu karena memiliki ideologi yang berbeda. Dan setelah ditelisik lebih jauh, dikutip dari wawancaranya mengenai album ini, lagu “Watermelon Ham” sesungguhnya merupakan curahan hatinya mengenai hubungannya dengan seorang vegetarian!

Setelah itu, disambut kita dengan “Jim Halpert”, sebuah lagu yang diiringi dengan instrumen  sederhana. Menurut saya lagu ini menggambarkan kesederhanaan permintaan seseorang untuk dicintai, tergambar dari instrumen yang sederhana dan vokal yang berteriak penuh keputusasaan. Judul lagu ini diambil dari salah satu karakter di acara “The Office”. Selain “Jim Halpert”,  Elephant Kind juga memberikan lagu-lagu melankolis yang sangat cocok dinikmati untuk kalian yang sedang patah hati, atau hanya sekedar ingin bersedih saja. “Sour”, “Feels”,dan “Maccas” patut dimasukkan ke dalam playlist lagu galau kamu!

Selanjutnya adalah lagu yang di dalamnya terdapat mantra yang selalu saya rapal saat hari-hari sedang sangat melelahkan, “These are the better days, if not today must be tomorrow!” Ya, lagu “Better Days” sangat cocok didengarkan saat Anda sedang tercekik oleh tanggung jawab dan hari terasa melelahkan. Lagu ini seperti vitamin rasa optimis yang membantu saya menyelesaikan hari dan percaya bahwa hari yang lebih baik akan segera datang. Selain “Better Days”, mantra lain yang kerap saya rapal adalah “Find your inner peace. Set your spirit free. May we live in peace. May we die peacefully.” Lagu berjudul “Lights Up”  ini sangat nikmat untuk didengar setiap pundak terasa lebih berat dari biasanya.

All in all, menurut saya album ini merupakan album yang mampu membawa saya ke mana-mana! Sejalan dengan konsep album yang tidak berkonsep ini, lirik-lirik yang disampaikan menjadi lebih raw dan terkesan out of the box. Keahlian Bam Mastro dan kawan-kawan untuk membalut konflik-konflik personal mereka dengan aura lagu romansa yang mudah dicerna oleh orang-orang awam pun patut diacungi jempol karena lagu-lagu di album ini menjadi lebih easy-listening dan relatable untuk sehari-hari.