Beberapa waktu lalu saya menerima tawaran dari Glaskaca, band yang dihuni oleh Dias Widjajanto (vokal/gitar), Aldi Nugroho (drum), Rayhan Noor (gitar/synth) dan Moses Mahitala (programming/synth), sebuah ‘perjalanan’ singkat dengan kereta menuju beberapa stasiun kehidupan bernama “Adendum”. Kami berhenti di delapan stasiun, 33 menit kurang lebih. Sebagai bonus, dalam trip ini juga ada Gardika Gigih dan Adra Karim yang turut menemani. Tidak ada persyaratan yang begitu rumit, perjalanan ini bisa dinikmati siapa saja. Namun, saya pribadi dapat mengatakan bahwa “Adendum” lebih cocok untuk diikuti oleh remaja usia 17 tahun ke atas yang sudah sedikit banyak dihadapkan dengan pengambilan keputusan.
Kita kumpul di Stasiun “Peringatan” sebagai titik awal. Disambut dengan alunan gitar elektrik dan dentuman drum, stasiun ini berapi-api dan penuh semangat. Seperti namanya, kita diingatkan bahwa waktu tidak akan bisa berputar kembali. Semua terjadi hanya satu kali seumur hidup. Hukum sebab-akibat berlaku disini. Maju berarti takkan bisa mundur lagi. Yang ada di depan adalah resiko dari pilihan yang kita ambil. Di stasiun inilah, kita bisa belajar untuk peka terhadap peringatan-peringatan yang ada. Saatnya kamu menentukan pilihanmu yang pertama, berangkat atau pulang.
Kita berangkat menuju Stasiun “Cetak Biru”. Sepanjang perjalanan, kamu dipersilahkan untuk membuat rencana apapun yang berkaitan dengan kehidupanmu. Manusia boleh bermimpi, memiliki ambisi dan cita-cita. Namun sesampainya di stasiun, kamu diingatkan bahwa dalam hidup selalu ada titik balik, jadi menyiapkan rencana cadangan tidak ada salahnya.
Jalur kereta yang dilewati oleh “Adendum” menampilkan panorama yang menarik untuk ditilik dari jendela. Terdiam, melamun, tiba-tiba sudah di Stasiun “Putih”. Putih berarti bersih, kosong, tenang, dan dalam ketenangan itu manusia dapat menyadari hal-hal yang telah terjadi dalam hidupnya. “Menanti, memandang asa, terpana hari yang cerah. Menanti, memandang asa, terbersit luka yang terlupa.” Lirik yang barusan adalah wajar menurut saya. Terkadang kita terlalu terpana akan suatu hal hingga otak kita lambat laun memanggil memori-memori lama yang memiliki kesamaan, mungkin soal tempat, waktu, atau rasa.
Harum air laut, tandanya kita sampai di Stasiun “Atom”. Walau terasa mencekam, pemilihan kata dari “Atom” cukup magis. “Turunkan pandangan, merenungi jejak yang sempat megah”, stasiun ini menggambarkan fase lain dari kehidupan yang juga sering kita alami. Terkadang manusia menjadi angkuh akan keberhasilannya, padahal apa yang ia bangun dengan susah payah itu dapat hilang dalam sekejap, tanpa sempat ia bayangkan. “Atom” menggambarkan kefanaan, tidak ada yang abadi dalam hidup ini. Everything has an expiration date.
Sudah dibuat was-was di stasiun “Atom”, hatimu semakin disayat-sayat di stasiun “Amerta”. Rasanya beban-beban hidupmu berlipat ganda. Banjir ekspektasi dari berbagai pihak yang seringkali mencengkram intuisi, membatasi ruang gerak kita sebagai manusia. Amerta, ke-tidak-mati-an, berarti juga kehidupan. Amerta juga berarti abadi. Lagi-lagi, kita diingatkan bahwa ada pengorbanan yang perlu dilakukan dalam hidup demi mencapai keabadian.
Kereta berhenti di Stasiun “Banda”. Disinilah kamu akan dipaksa untuk berkontemplasi. Glaskaca memainkan kata dengan singkat namun sarat makna. Pada stasiun ini instropeksi diri merupakan pesan yang paling utama. Membenahi diri dan membangkitkan kepercayaan diri untuk menyambut masa depan, itulah pentingnya kita mampir di stasiun ini.
Alunan piano Adra Karim menemani kita di stasiun “Adendum”. Stasiun ini dibangun oleh alunan instrument yang paling variatif dari stasiun lainnya. Mood yang dibangun seakan-akan memberi pesan semangat bagi kita yang datang berkunjung ke Adendum.
Perjalanan berakhir di stasiun “Epilog”, stasiun terbaik buat saya. Walaupun singkat, harus saya akui perjalanan ini cukup melelahkan bagi batin. Seperti diombang-ambing, ditampar kanan-kiri oleh kenyataan hidup, namun “Epilog” menenangkan jiwa. Stasiun ini menyimpulkan ketujuh stasiun sebelumnya. Mungkin kita mengalami rencana yang gagal, penolakan, realita yang tidak sesuai dengan ekspektasi, namun epilog bukanlah sebuah akhir. Usai berkontemplasi dalam perjalanan ini, Glaskaca sebetulnya menyiapkan kita untuk kembali ke dunia nyata dan menjalani hari-hari dengan semangat yang baru. Gardika Gigih dengan jemarinya yang magis juga berhasil menambah warna stasiun terakhir ini. Semua kekhawatiran yang sengaja dibangun melalui tujuh stasiun sebelumnya seketika lenyap, mati dibunuh “Epilog”.
Adendum berkisah tentang mimpi, kegagalan, juga harapan. Walau nuansa musik pada perjalanan ini sedikit mengingatkan saya terhadap Efek Rumah Kaca dan Barasuara (mungkin karena pengaruh Iga Massardi yang cukup besar sebagai produser pada perjalanan ini), saya sangat mengapresiasi permainan kata oleh Glaskaca. Walau cenderung repetitif, namun mudah diingat karena penggunaan kata dalam satu lagu tidak terlalu banyak, dan tercipta pola rima yang rapi. Seperti pada Banda, “tanpa meringis kita terkikis, dengan tergelak di air yang beriak”, pola rima yang tercipta sangatlah apik dan sarat makna, sehingga membekas di hati. Adendum identik dengan bagian reff yang berulang-ulang, seakan-akan mendoktrin para pendengar dengan kata-katanya. Kekuatan utama Adendum terletak pada pesan aksaranya. Stasiun yang dilewati jalur kereta Adendum sudah dapat disinggahi melalui platform digital seperti Spotify dan Joox.