Rossi Musik Fatmawati malam itu digebrak oleh perfomer keren dari lokal hingga mancanegara. Dengan tajuk Falls and Forests Tour 2019 yang diadakan oleh kolaborasi 630 Records dan The Heartbreak Club.  Malam minggu akhir bulan Januari ini ngga bikin sengsara dan bingung harus nongkrong di mana!

Setelah dibuka oleh Vvcharri, band asal Bekasi yang mengadu bass-nya di langit langit gedung Rossi Musik, hingga anggukan dan teriakan mulai terdengar pada band kedua malam itu, Eleventwelfth. Sebuah home band dari naungan 630 Records mengajak penonton ikut bernyanyi bersama.

Setelah suasana penonton makin panas, tamu mancanegara ini datang jauh-jauh dari Negeri Sakura, Falls. Band ini hadir sebagai pembuka tour dari kedua band yang sama-sama datang dari luar negeri. Hingga penghujung acara, band asal Singapore, Forests, menjadi santapan utama. Pasalnya, jelas band ini menjadi highlight malam minggu itu karena baru saja meluncurkan album barunya yang temanya enggak bisa kita lupa dari 7Eleven dan toko serba ada di sebelah rumahmu.

Spending Eternity In A Japanese Convenience Store album full-length ke-dua dari Forests. Dengan meluncurkan albumnya ini, Forests pun menggandeng band Falls untuk menjalajahi beberapa kota di Asia Tenggara. Dari Singapore, Bandung, Jakarta dan berakhir di Malaysia. Gilanada.com berhasil dikasih kesempatan oleh Tuhan YME dan 630 Records buat ngobrol panjang soal album baru mereka, musik musik Indonesia, dan hal random yang terkesan sok-asik banget. Langsung simak obrolan kami di bawah bersama tiga cowo-cowo kece asal Dakota, Singapore ini!

 

Sebelum mulai, perkenalan diri dulu dong dari masing-masing kalian terus main instrument apa?

Niki (N): Nama gue Niki gue drummer.

Adam (A): Hi nama gue Adam gue main gitar.

Darell (D): Gue Darell, gue bagian bass dan vocal.

 

Forests baru aja ngerilis album baru yang berjudul  Spending Eternity in Japanese Convenience Store. Darimana inspirasi nama tersebut?

 N: Itu sebenernya random aja hahaha.

D: Awalnya itu pas kita lagi tour di Jepang. Kita lagi belanja di toserba di sana dan gue adalah orang yang paling lama keluar dari situ, gue orang yang terakhir keluar lah bisa dibilang. Tiba-tiba kepikiran band aja gitu enggak tahu kenapa, plus gue lama juga karena enggak tahu mau beli apa di sana. Dari situ deh muncul nama “Spending Eternity in Japanese Convenience Store” kira-kira gitu sih.

 

Siapa yang menginspirasi kalian untuk bermain musik/memulai karir musik kalian? 

D: Young Lex! Rapper Indonesia tuh, terkenal.

N: Chon.

A: Gue sendiri.

 

Bisa ceritakan proses penulisan lagu untuk album?

D: Biasanya kita nulis musiknya/nada dulu. Kita Cuma kayak ngegumam nadanya pas kita latihan terus kita yang, “Na naa nana,” baru deh ke liriknya. Kita juga enggak tahu musik kayak gimana yang bakal kita nyanyiin atau mainin. Gitu sih proses pembuatan lagu kita, musiknya dulu baru liriknya. Karena gue yang sering nulis liriknya, biasanya inspirasinya tuh dari dialog film atau slogan (slogan yang kocak/gajelas) asalnya dari internet, majalah, Tumblr, dan juga Pinterest.

A: Gue nulis liriknya pake gitar.

 

Bisa dibilang LP kedua Spending Eternity in Japanese Convenience Store bicara tentang kehidupan sehari-hari ya? Gimana kalian mengatur kehidupan sehari-hari kalian yang banyak kedalam lirik-lirik di album? Ada yang terkait enggak antara lirik dan aktivitas kalian?

D: Iya, iya, kita ada lagu yang liriknya dari inspirasi kayak gini:

‘I could never understand what is it that you want from me, when we don’t know what to eat for dinner with my girlfriend, and what’s you want from me, whose decide, something like that’

Gue rasa tergantung orang sih. Hahaha..

 

Sebagai band yang berasal dari Asia, hal unik apa yang membuat kalian berbeda dari band-band lain?

 D: Gue rasa karena kita menggabungkan Asia-math rock dengan musik Emo-Amerika. Itulah kenapa kita merasa unik. Tapi, gue rasa kedengarannya sama aja.

N: Gue rasa karena kita unik. Math-rock itu catchy. Kita gabungin Emo sama math-rock. Orang-orang Math-rock biasanya cuma mainin hal-hal sulit, nyanyiin lagu-lagu yang sulit.

D: Itulah mengapa kadang kita juga ga catchy dianggapnya. Tanpa musik biasanya. Jadi ya agak rumit sih. Bagian nyanyinya gak catchy. Jadi kita berusaha mengubah disitu untuk bisa menjadi catchy di kuping pendengar.

 

Apakah ada alasan khusus mengenai rilis album yang bertepatan dengan awal tahun, 1 Januari 2019? 

N: Harusnya tuh rilis Juni 2018 kemarin, tapi ketunda.

D: Kita harus rilis secepatnya makanya kita pilih 1 Januari, kalau dirilis tanggal 28 Desember aneh aja rasanya dan kita mau albumnya rilis di 2019.

 

Gimana sih situasi atau suasana math rock di Singapura?

N: Gila sih, pecah.

D: Dulu tuh banyak band-band yang bagus tapi sekarang udah enggak ada.  Kayak Sphaeras tapi mereka udah gak ada. Jadi kita nomor satu sekarang hahaha.

 

 

Lanjut, kenapa kalian milih buat manggung di Bandung dan Jakarta?

D: Kita sebenernya enggak milih mau manggung dimana. Kita cuma dikasih tau kita bakal manggung di mana kayak, “Nanti kalian main di Bandung sama Jakarta,” terus kita yang, “Oke Bandung, oke Jakarta.” Gitu aja sih, enggak pernah milih mau di mananya.

 

Kenapa enggak di Batam? Itu kan dekat dari kalian?

N: Enggak ada yang ngajak kita manggung di Batam.

D: Enggak, enggak. Menurut gue, musik Jakarta sama Bandung tuh keren. Kayak model Eleventwelfth, dan Hulica yang emo.

 

Kalian punya harapan apas ih buat fans kalian di Indonesia? Apakah makin banyak yang tahu kalian atau ada harapan lain?

N: Gue harap sih Pak Presiden, Pak Jokowi berhenti dengerin musik metal. Mulai dengerin emo aja. Lain waktu dia bakal dateng ke pertunjukan emo.

D: Lain kali dia bakal make kaos Forests.

 

Belakangan ini, kita banyak menemukan band keren dari skena bedroom pop dan hip hop yang berhasil menggaet banyak fans. Respon kalian tentang hal itu gimana?

A: Gue sih musik dengerin apa aja.

D: Gue dengerin hip hop, grindcore..

 

Musisi dari Indonesia yang kalian suka siapa?

D: Enggak kehitung. Dia bilang dia suka gue karena gue orang Indo, hahaha. Harus pilih band Indonesia.

N: Kemarin ada tuh namanya Aillis, Glare..

A: Ah iya Glare.

D: Gue banyak sih. Rich Brian, Young Lex, Rossa, Dewa..

N: Peterpan! Peterpan nomor satu sih!

D: Andra and The Backbone, Heals. Heals keren, gue nonton pas dia di Singapura. Hulica keren, siapa lagi ya…

D: Umm.. Deadsquad, Deadsquad!

 

Kalau dari judul album baru kalian, makanan atau minuman apa yang kalian biasanya beli di toserba?

N: Gampang, Strong Zero. Itu tuh beer. Pas di Jepang kita janjian buat nyobain semua beer yang ada disana. Dari kulkasnya bakal kita ambil 4 beer tiap malem. Jadi kita nyoba 4, 4, 4 sampe nyobain semua beer. 

A: Umm, di toserba Jepang tuh ada corn dogs gitu sih gue doyan banget.

D: Kayanya bento box deh, bento box-nya enak. Hahaha.

 

Dengar-dengar, katanya kalian suka minum alkohol? Menurut kalian gimana rasa wine local dari Indonesia, Anggur Merah Orang Tua?

N: Sedap!

A: Di Singapura, ada yang kayak gini juga tapi namanya Qoo.

 

Okay, balik bahas soal musik, kalian punya ritual/kebiasaan yang dilakuin sebelum manggung enggak sih?

N: Sebelum main? Gue minum beer yang banyak. Tapi kalau kebanyakan juga gue bisa tepar sih.

A: Ritual sebelum manggung? Kita ada interview gitu sama jurnalis Indonesia HAHAHA.

D: Kita berantem sama anak punk. Sebenernya enggak ada, paling cuman nge-check alat-alat, gaada yang spesial. Semuanya harus siap. Duh ngebosenin.

 

Jadi apa pendapat kalian tentang musik di Indonesia?

D: Musik Indonesia tuh gue rasa sama aja kayak di negara-negara lain. Bakal ada satu atau dua yang Go-International. Di Singapura juga sama. Gue rasa itu karena budaya dari masing-masing negara itu sendiri sih. Tapi enggak tahu juga. Budaya kita tuh melihat musik enggak bagus-bagus banget, bukan tempat mencari uang lah ibaratnya. Kayak di Jepang, mereka bebas berekspresi soal musik. Makanya banyak musisi yang bagus dari Jepang. Balik lagi ke budaya negaranya aja. Bukannya gue bermaksud bilang budaya Indonesia jelek, tapi karena budaya yang ada jadinya kita susah berkembang di situ, tapi kalau Rich Chigga itu beda lagi ceritanya sih. Makanya gue bilang dia beda kasus. Oh okay, itu serius ya.

 

Hmm ini bakal jadi pertanyaan terakhir. Suatu saat kalau lagu kalian ada yang mau dijadiin OST dari sebuah film, film yang kayak gimana yang menurut kalian akan cocok?

D: Kita kayaknya bakal seneng kalau dijadiin OST di film indie. Kalau bisa yang masuk nominasi. Gue gapunya film tertentu sih tapi pasti keren kalau masuk jadi OST film yang kayak gitu.

A: Salah satu film Michael Cera! Gue rasa cocok soalnya dia emo banget.

D: Gue rasa di The Office. Gimana kalau The Office?

A: Enggak!

D: Oke oke. Gue pengen jadi OST di The Simpson. Lo tau lo berhasil/sukses kalau karya lo masuk di The Simpson hahaha.

 

Jadi The Simpson nih? Kalau gitu lagu kalian yang mana yang cocok?

D & A & N: Tamago!

D: Tamago tuh lagu yang bodoh gitu tapi seru. Jadi gue butuh film yang serupa kayak Tamago. Lo tau film 500 Days of Summer? Itu film yang indie banget. Eternal Sunshine of The Spotless Mind juga, kita ada ngambil dialog dari film itu buat di lagu kita “Biting Straws” di album pertama.

 

Nah, itu dia percakapan Gilanada.com dengan Forests. Walaupun Forests band dari Singapura dan penganut math-rock yang jarang banget kita temukan di Tanah Air. Mereka ini cukup familiar sama musik di negeri kita lho!

Obrolannya memang terkesan lama namun tidak melunturkan semangat mereka dengan pertanyaan yang panjang panjang itu, justru dalam pembicaraan bersama Gilanada.com ini Forests sangat ramah, totalitas dan penuh gelak tawa, layaknya dua komunal yang sudah lama kenal. Selamat dan sukses Forests atas peluncuran albumnya yang sudah bisa kalian nikmati di Spotify dan weareforests.bandcamp.com.

Please, have a tour again in here and we pleasurably going to catch you up!

 

Ditulis Oleh: Arvia Wandakusuma Salma

Foto Oleh: Muhammad Rafliansyah