Ketika Ekspektasi Tak Sesuai Harapan
Ketenaran sebuah band bisa berasal dari segala suatu hal. Entah itu corak warna musikalitas, usia band yang dianggap “senior” dalam kancah musik, album yang masuk menjadi nominasi bergengsi, gara-gara tampilan fisik personel yang dianggap sempurna, atau bahkan gara-gara tren zaman yang menjadikan individu mengikutinya dan mampu membuat sebuah band melejit bak roket diterbangkan ke angkasa.
Unik sekaligus menarik pastinya. Perspektif individu dalam menilai sebuah warna musik memang sangat diperlukan untuk segi “kepuasan” si pemilik karya. Dari sanalah beranjaknya si pemilik karya untuk membuat sesuatu yang dianggap memenuhi target pasar. Tapi, tidak sedikit pula yang memang menjadikan musik sebagai pure hasrat untuk melampiaskan angan dan kemudian masyarakat sebagai penikmat musik, menyukainya dan beranggapan bahwa hal yang dilakukan oleh idola itu keren.
Tapi, tulisan ini hadir bukan untuk membahas skena musik yang disukai masyarakat atau kebebasan individu dalam bermusik, melainkan suatu yang dianggap kurang pas pada tempatnya. Dibaca kembali kalimat sebelum ini. Sekut, sesuatu yang dianggap kurang pas. Akan tetapi, sah-sah saja.
Eits, woles dulu. Serius amat kaya lagi ngobrol sama calon mertua. Woles woles..
Bisa diibaratkan seperti seorang lelaki yang kebelet buang hajat di toilet umum, namun malah membuang hajatnya di toilet wanita. Untuk si lelaki sih yang penting rasa sakit di perut hilang. Nah, untuk si wanita yang masuk kedalam toilet dan menemukan lelaki di dalamnya, tentu membuat pikiran menjadi “ini apasi, ‘batang’ kaga bisa bedain dimana tempatnya”. Itu analogy yang pertama.
Analogy kedua, seperti sepasang remaja yang sedang di mabuk asmara yang melakukan kencan pertamanya. Lelaki sebagai pembuat keputusan, mengajak si doi untuk makan di restoran mewah yang pajaknya melebihi harga satu buah minuman. Hal ini dilakukan agar kesan pertama terkesan “wah”. Untuk tempat duduk, ternyata si cowo telah memesan seminggu sebelumnya. Sesampainya di tempat, si cowo memesan sebuah steak dengan taburan saus Italy yang menggugah nafsu makan, sebuah pudding untuk cuci mulut, dengan minuman cola bercampur eskrim ala-ala. Nah, si cewe, entah gengsi atau kebingungan, ikut memilih memesan steak, pudding namun memesan minuman teh pait.
Sembilan dari sepuluh cowo sepertinya akan merasakan berkurangnya hasrat suka atau mengagumi, atau sebut saja ilfeel. Tapi sah-sah saja, kebebasan individu. Tak bisa dilarang dan diatur sedemikian rupa. Yang terpenting bagi si cewe ya sehabis makan itu minum.
Okey, kembali lagi ke topik pembahasan, atas dasar apa tulisan ini hadir menghiasi pandangan pembaca yang memang bisa saja dianggap tidak penting. Bebas, itupun perspektif individu dalam hal suka atau tidak suka. Sekali lagi, bebas!
Yaaaaaap, konser ‘Tame Impala Live in Jakarta’ akan segera digelar pada tanggal 29 April 2016, bertempat di Lapangan Parkir Senayan, Jakarta. Tame Impala, sebuah band bernuansa pscychedelic asal Australia akan tampil menggebrak Indonesia dalam rangkaian tour Asianya.
Untuk penikmat psychedelic di Indonesia, hal ini merupakan sebuah hajatan bagi mereka untuk datang langsung menyaksikan band kesayangan mereka, Tame Impala. Konser ini pula telah menetapkan band siapa yang akan menjadi pembuka. Yups, Barasuara. Band Iga Mashardi dkk ini mendapatkan kesempatan dari pihak penyelenggara untuk membuka konser. Namun, Barasuara dinilai kurang tepat untuk membuka opening konser dari “Tame Impala Live In Jakarta”.
“Lah ko Barasuara sih?” , “Yakali Barasuara jadi opening Tame, kaga ada nyambungnya” atau “Barasuara bakal bawain lagunya dengan aransemen yang sedikit agak trip haha…” dan masih banyak lagi pernyataan dan celotehan kecewa dari para penikmat Tame Impala yang begitu mengetahui Barasuara akan menjadi band pembuka.
Barasuara memang merupakan band asli Indonesia, dengan basis penikmatnya yang sangat luar biasa. Juga bisa dikatakan Ultra. Arti kata ultra disini ialah berlebihan. Mengapa? Tentunya beberapa bulan kebelakang masih ingat, kisruh antara garis keras Barasuara dengan penonton yang hadir menyaksikan penampilan Barasuara namun tidak bergoyang dan dianggap tidak menghargai sang penampil. Sebegitunyakah?
Dua skena musik berbeda dalam satu panggung. Salah? Tidak. Merugikan? Apalagi. Namun, pemilihan Barasuara sebagai opening Tame Impala ini dinilai “kurang pas”. Banyak yang mengira, band yang akan menjadi opening ini ialah band yang memiliki unsur serupa dengan Tame Impala.
Jika dilihat dari skena musiknya, Indonesia memang tidak memiliki band syang memang sama persis dengan Tame Impala. Namun, band-band yang bisa didaulat untuk tampil sebagai pembuka ini banyak. Seperti Sigmun, Klawings atau bahkan bisa menghadirkan AKA sebagai reunion band yang telah lama vakum di kancah musik.
Yaaaaa walaupun memang hal tersebut tidak bisa dan tidak mungkin dirubah, karena kebijakan sepenuhnya dipegang oleh si empunya hajat, penggemar Tame Impala yang telah membeli tiket atau akan membeli tiket konser tentunya akan tetap datang menonton Tame Impala. Karena mereka datang tentumya memang untuk Tame Impala dan menganggap jika Barasuara merupakan bonus dari konser. Tapi, ada pula yang mengurungkan kembali niatnya untuk datang ketika mengetahui hal tersebut. Sebegitunyakah?
Namun, terlepas dari siapa-siapanya ataupun dengan terpilihnya Barasuara, hal ini menunjukan bahwa musikalitas Indones bisa di dengar oleh publik luar dan go International. Untuk memajukan kancah musik Indonesia, tentunya melibatkan semua pihak. Baik pihak pembuat karya, pihak penyelenggara acara, maupun dari penikmatnnya. Maka dari itu, arti dari kebebasan pun akan hadir di setiap lini yang mencangkup tujuan “pekembangan musik Indonesia”. Si pemilik karya bebas mengekplorasi musikalitasnya, pihak penyelenggara bebas menentukan hajatannya, dan sebagai penikmat musik bebas melakukan support dengan jalannya masing-masing. Namun tentunya berada dijalan yang sama, mendukung perkembangan musik Indonesia.