Menjalani kehidupan yang semakin serius dengan berbagai tantangan yang tak selalu mudah terkadang membuat hari sedikit sulit untuk dijalani di hari-hari belakangan ini. Terlebih untuk seorang overthinker. Mendengar demo album kedua Kunto Aji, terdapat firasat bahwa karya musisi asal Jogja ini akan memiliki banyak magis. Sampai akhirnya, pada tanggal 14 September 2018 “Mantra Mantra” akhirnya terlahir sebagai album kedua Aji dan menjawab firasat saya sebelumnya.
Mendengar setiap mantranya melalui gawai saja sepertinya tidak cukup, melihat bahwa sang pemilik mantra hadir di Synchronize Festival 2018 menambah semangat saya untuk menghadiri festival musik lintas genre tersebut. Tepat pukul 18.30 di hari ke-2 Synchronize Festival 2018 (06/10) sang pemilik mantra memulai sihirnya dengan lagu “Sulung”. Hampir semua mantra di album keduanya ia lantunkan, hanya “Konon Katanya” yang tak sempat terucap karena waktu yang tak memungkinkan. Sorak sorai yang ramai di sepanjang penampilannya seperti membuktikan mantranya berhasil menyihir yang hadir di District Stage malam itu. Bukan hanya sorak sorai, tepuk tangan, dan air mata pun ikut menghiasi. Aji, sebagai pemilik mantra pun tak henti-henti menyampaikan rasa terimakasih atas atmosfer luar biasa yang tercipta malam itu.
Malam itu memang sangat luar biasa, dari banyak sekali musisi tanah air yang membuat saya menjadi lebih banyak tersenyum bahagia, penampilan Aji merupakan salah satu yang masih membekas di hari-hari selepas Synchronize Festival 2018. “Mantra Mantra” tidak diramu sendiri oleh Aji. Ankadiov Subran, Petra Sihombing, Anugrah Swastadi, dan Bam Mastro pun menjadi sosok dibalik kemagisan yang ada di album tersebut. Naufal Abshar, seorang seniman yang sudah malang melintang di dalam dan luar negeri, ikut meramu di bagian visualnya. Setelah melalui beberapa pencarian, saya mengetahui bahwa “Mantra Mantra” diciptakan Aji membahas mental health, dan dikhususkan untuk para overthinker.
“Sulung” merupakan mantra yang pertama kali saya dengarkan, dari bait pertamanya yang berkata “Cukupkanlah ikatanmu, relakanlah apa yang tak seharusnya untukmu..” , sudah mampu membuat saya diam untuk beberapa saat. Mantra yang satu ini menyihir saya untuk menutup mata, bersandar dan menghela nafas sejenak ditengah hiruk pikuk yang terjadi. Mantra selanjutnya “Rancang Rencana”, yang kali ini membuat saya mengingat kembali mimpi-mimpi yang setiap malam saya selipkan dalam doa sebelum tidur, namun di hari-hari kemarin sempat terlupakan. Lirik indah dari “Pilu Membiru” ini memang tak bisa mengobati apa yang belum terselesaikan, namun ia seolah-olah membuat sang biru terasa lebih indah meski pilu tetap singgah. Mantra selanjutnya merupakan hasil ramuan dari pengalaman pribadi sang pemilik mantra dengan istrinya sebelum mereka menikah, dimana ia diberikan target dan dihadapkan pada pilihan untuk menikahi sang isteri. Mantra yang dinamai “Topik Semalam” ini memang tak merasuki saya seperti mantra-mantra sebelumnya, namun ia bagaikan cerita pengantar tidur yang setiap malam selalu menarik menjadi pilihan untuk diceritakan.
Mantra setelah “Topik Semalam” ini dapat dikatakan sebagai mantra paling magis kedua setelah “Sulung” bagi saya. Kunto Aji, sang pemilik mantra, menyebut mantra kali ini dengan nama “Rehat”. Lirik di mantra ini seolah merasuki dan menampar saya di waktu yang bersamaan, bagaimana ia menyadarkan saya untuk berhenti sejenak untuk rehat dari hal-hal yang selama ini silih berganti tak mau pergi hadir dipikiran. . Mungkin mantra ini menjadi lebih magis karena hadirnya unsur soft regius frequency dengan frekuensi 396 Hz dalam ramuannya, yang menurut penelitian bisa mengeluarkan racun atau pikiran negatif dan membuat siapa pun yang mendengarnya merasa lebih baik, lebih semangat, dan lebih optimis.
Beralih ke mantra selanjutnya, “Jakarta Jakarta”, yang mungkin akan lebih merasuki para penduduk Ibu Kota yang liriknya bercerita mengenai Jakarta dengan hingar bingarnya sebagai kota yang menjadi tempat mengejar mimpi bagi yang meyakininya. Mantra ini seolah menguatkan para pemimpi yang sedang ada dalam perjalanannya untuk menggapai mimpi demi mimpinya di ibu kota. Mantra selanjutnya, “Konon Katanya”, merupakan mantra yang sudah lebih dulu dibisikan ke bumi oleh sang pemilik mantra. Mantra kali ini memang sedikit sulit dipahami dari segi liriknya, namun ramuan irama yang lebih dinamis pada mantra ini memberi warna lain dari mantra-mantra lainnya. Mantra selanjutnya yaitu “Saudade”, mantra ini membisikan sisi melankolis pendengar untuk tetap selalu melihat kebaikan dari hal yang kelabu seperti merindu hal yang terkadang saya pun tidak tahu. Mantra terakhir yang bernama “Bungsu” memang memiliki ramuan lirik yang sama dengan “Sulung”, namun jika di dengarkan lebih dalam terdapat ramuan yang berbeda di kedua mantra tersebut.
Ketulusan sang pemilik mantra begitu terasa dalam setiap lirik-lirik yang dibisikanya, kelihaian empat produser yang ikut meramu membuat setiap mantra memiliki warna yang berbeda-beda, dan sentuhan artistik sang seniman melalui ilustrasinya membuat “Mantra Mantra” menjadi sesuatu yang antik. Semua keterlibatan menjadikan setiap mantra menjadi lebih bermakna. Mayoritas mantra berhasil merasuki pikiran saya, beberapa lainnya menjadi mantra yang menenangkan. Visi sang pemilik mantra untuk menjadikannya obat bagi orang yang membutuhkannya berhasil bekerja pada diri saya. Tangis, hembusan dari helaan nafas panjang, dan senyum bahagia merupakan beberapa hasil kerja dari magisnya “Mantra Mantra”. Tidak hanya bekerja pada diri saya, beberapa sahabat pun merasakan hal magis yang ada pada “Mantra Mantra”.