“Mau nonton konser gratis? Ikutan Gilanada, yuk!” ujar salah seorang kontributor Gilanada yang mengisi materi Diklat KMF tahun lalu kepada kami, mahasiswa baru Fikom Unpad 2018.
Iming-iming penukaran tiket konser gratis dengan syarat memberikan foto dan tulisan sebagai timbal balik, nyatanya memang terbukti efektif untuk menggaet puluhan dari kami saat itu. Sebagai catatan, praktik ini ternyata sudah berjalan sejak lama (dan selalu berhasil!)–bahkan, sepertinya sejak awal terbentuknya Gilanada lima tahun yang lalu. Untungnya, hal tersebut bukan sekadar bujuk rayu kosong belaka, melainkan benar adanya.
Seperti media kampus kebanyakan, atmosfer kerja kami di Gilanada memang murni hura-hura bersama teman sehingga jauh dari kata beban. Kami pun tidak dapat keuntungan material dari apa yang kami kerjakan, tetapi kami suka dengan apa yang kami kerjakan. Saya rasa, hal tersebut sudah mampu menjadi fondasi yang membuat Gilanada dapat bertahan hingga saat ini. Sebagai catatan, lima tahun juga bukanlah waktu yang sebentar.
Dalam rangka merayakan ulang tahun Gilanada yang ke-lima, saya berkesempatan untuk berbagi pandangan dengan dua orang yang ada pada tahun-tahun awal berdirinya Gilanada–bagaimana mereka membentuk, mempertahankan, dan membuat Gilanada sebagai batu loncatan untuk dapat meraih posisi yang dimiliki saat ini.
“Gilanada itu ada untuk kalian; para penikmat musik yang gak suka nge-band atau belum mampu buat acara, tapi suka ngobrolin musik,” ujar Surya Fikri Asshidiq atau Kuya, drummer The Panturas, satu dari belasan orang yang turut membangun media ini pada tahun-tahun pertamanya.
Pada 2014, Gilanada lahir sebagai bagian dari Komunitas Musik Fikom (KMF) Unpad. Kuya mengatakan, saat itu KMF sebagai sebuah komunitas musik memiliki urgensi untuk memenuhi trinitas ke-tiga selain music developing dan event organizing, yakni mengadakan sebuah media. Nama Gilanada sendiri pun juga merupakan hasil dari buah pikirnya.
“Makna dari Gilanada ya ‘gila’ buat musik (nada),” jelasnya.
Orang lain yang turut berbagi pengalaman mengenai tahun-tahun awal terbentuknya Gilanada adalah fotografer lepas Alfi Prakoso. Bersama dengan Kuya, Alfi turut membangun situs Gilanada dari nol. Alasannya, mereka ingin Gilanada lahir sebagai media yang matang proses penggarapannya.
“Tahun 2014, gue diajak buat bikin media di KMF. Saat itu, gue dan temen-temen harus belajar buat website, desain, dan segalanya dari nol. Isi Gilanada pun pada awalnya hanya nerapin apa yang kita pelajarin di kampus, belum se-bervariasi sekarang,” kenang Alfi.
Ketika genap setahun berdiri sebagai media musik pada 2015, Gilanada sudah berhasil untuk tembus menjadi media partner resmi berbagai festival musik berskala internasional seperti Djakarta Warehouse Project, We The Fest, dan Java Jazz. Hal ini jelas merupakan sebuah prestasi, mengingat status Gilanada yang notabenenya merupakan sebuah media kampus. Alfi dan Kuya pun sama-sama sepakat bahwa tahun tersebut merupakan masa yang paling ‘gila’ bagi Gilanada.
Tahun-tahun berikutnya, keduanya sudah tidak banyak lagi berada di kampus. Namun, proses regenerasi Gilanada masih berjalan dan dianggap masih ‘satu nafas’ dengan apa yang mereka bangun dahulu.
“Meraih prestasi itu lebih sulit dibandingkan dengan mempertahankannya. Hal itu kejadian dalam lika-liku perjalanan Gilanada,” ungkap Alfi.
Ketika keduanya resmi lepas dari kampus, apa yang dulu didapatkan dari Gilanada masih melekat dalam diri mereka. Bagi Kuya, Gilanada turut ambil andil dalam posisi yang telah diperolehnya sekarang.
“Dalam perjalananku ngebangun Gilanada, aku berkesempatan untuk ketemu banyak orang yang berpengaruh di bidang musik–artis, label, dan manajer band. Sebagai wartawan, aku punya kapasistas itu,” jelas Kuya.
Kuya melanjutkan, bahwa ia juga merasa aktivitasnya sebagai seorang wartawan di Gilanada dulu banyak membantunya dalam mengembangkan The Panturas.
“Profesi wartawan itu juga menjadi milestone untuk bisa membangun koneksi di dunia musik. Karena aku punya akses untuk ngobrol dengan orang-orang yang berpengaruh di dunia musik, aku jadi bisa belajar dari mereka untuk ngembangin The Panturas hingga jadi seperti sekarang,” lanjutnya.
Sementara bagi Alfi, ilmu yang diperolehnya dari membangun Gilanada banyak membantunya di dunia kerja saat ini.
“Gilanada gak berakhir sebagai portfolio di CV dan LinkedIn aja, melainkan juga kepake hingga saat ini di dunia kerja. Gue udah gak kaget dengan kehidupan bidang media–regulasinya, standarnya, dan lain sebagainya. Banyak ilmu yang gue pake di Gilanada dilanjutkan dengan tahap yang lebih serius di kantor,” ujar Alfi.
Selama lima tahun bergelut sebagai media musik, Gilanada memang telah mengisi sebagian pengalaman buku, pesta, dan cinta milik para katalisnya yang mayoritas berstatus mahasiswa. Terima kasih banyak, Gilanada. Akhir kata, selamat ulang tahun!
“Semoga Gilanada selalu ada dan tetap relevan. Jangan mudah tenggelam.” – Surya Fikri Asshidiq (Kuya)