Rasanya perkembangan teknologi informasi komunikasi (ICT) membantu proses pencarian identitas diri saya. Apalagi semakin banyaknya varian medium yang tersedia membuat isi konten tidak lagi berperan sebagai pesan – sebaliknya, “medium is the message”.
Teori ‘medium adalah pesan’ dicetuskan oleh Marshall McLuhan. Kerangka pemikirannya mengajarkan kita bahwa medium mempengaruhi kehidupan manusia dan segala dinamika sosial yang terjadi di dalamnya. Seperti yang saya rasakan dua tahun belakangan ini, konten publikasi dari banyak perusahaan di media sosial terasa semakin relevan dengan kehidupan saya.
Apa yang saya rasakan juga senada dengan penjelasan Philip Smith di Cultural Theory; kita sedang hidup di era dimana tanda, simbol, dan media berperan penting dalam penggerak kekuatan ekonomi. Selain itu, identitas kita akan terbentuk dari sebuah citra. (Hoed, 2014: 15)
Dari perspektif media, kehadiran internet membuka peluang sebuah bentuk komunikasi baru yang dapat merangkul lebih banyak kelompok dan melepaskan jurnalisme dari jeratan korporat. Selain itu, internet telah membuka era demokrasi yang interaktif, sebagaimana yang sudah pernah diperkirakan oleh Edward S. Herman dan Noam Chomsky pada tahun 1988 (Nugroho, 2012)
Dalam tulisannya, Simon Reynolds mengatakan dekade 2010-2019 merupakan ajang bangkitnya subkultur melalui beragam platform digital seperti Youtube dan Bandcamp. Audio blog dari komunitas-komunitas pun semakin bermekaran, karena untuk memproduksi podcast juga tidak terlalu sulit dan mahal-mahal amat. Seperti di Jakarta misalnya, situs musik agordiclub.com rutin merilis konten podcast bertajuk Agordipod yang memiliki program “Punggung Panggung”, “SVVARA Podcast”, dan “Daftar7”.
Kelahiran Gilanada.com juga salah satu gejala dari perkembangan dunia ICT. Berawal dari inisiatif mahasiswa Unpad yang tergabung dalam Komunitas Musik Fikom (KMF), pada tahun 2014 sekelompok orang ini merancang media komunitas yang fokus membahas isu musik di wilayah perkampusan.
Internet mendorong lahirnya berbagai media komunitas, walau kehadirannya di Indonesia sudah ada jauh sebelum internet booming seperti sekarang. Media komunitas dan internet berperan sebagai sumber informasi yang berorientasi kebutuhan sosial suatu kelompok (Nugroho, 2012: 4), namun banyak aspek yang perlu dibenahi agar media komunitas tidak kehilangan perannya sebagai pembeda media arus utama yang berkualitas.
Contoh persoalan dari kualitas media saat ini pernah dirasakan vokalis Svmmerdose, Rinrin, di salah satu kota pemberhentian tur bulan Februari lalu. Di tengah jumpa pers, awak media terlihat tidak bergairah menggali informasi. Sesi tanya jawab hanya diisi dengan suara “klik” dari kamera yang sibuk mengambil gambar. “Mereka terlihat ga punya materi yg ditanyakan. Either pas di manggung mereka ga merhatiin atau mereka ga nyiapin. Akhirnya setelah ga ada yg nanya, kita selesain (sesi jumpa pers)”, ungkapnya kepada penulis.
Peristiwa yang dialami Rinrin bukan satu-satunya contoh kejenuhan yang sedang terjadi di iklim media musik alternatif saat ini. Akibat dari malasnya anggota redaksi melakukan riset mendalam terhadap objek yang diliputnya membuat sudut pandang yang dimuat mirip (bahkan sering sama) dengan sudut pandang media tandingannya. Biasanya, ini terjadi karena sang penulis hanya mengubah sedikit demi sedikit kalimat yang tercantum di rilisan pers dan tidak mencari mencari sumber informasi lain, sehingga terjadilah duplikasi konten.
Padahal, untuk betul-betul mengapresiasi suatu karya juga membutuhkan wawasan. Wawasan yang dimiliki akan memantik kemampuan komparasi yang dapat menunjukan kelebihan dan kekurangan suatu karya, sehingga hasil dari komparasi tersebut bisa dijadikan referensi untuk pengembangan karya di masa mendatang.
Saya sendiri menyadari pernah menjadi sumber masalah ini. Empat tahun yang lalu, saya mendapatkan kesempatan wawancara dengan salah satu personil Pandai Besi, Monica Hapsari. Setelah personil Pandai Besi dengan The Sigit turun dari panggung, saya dan rekan liputan saya bergegas untuk mendapatkan pernyataan dari penampil. Setelah giliran saya yang bertanya, sang narasumber justru bertanya balik untuk meminta pendapat saya. Karena tidak membekali diri dengan riset, respon saya pun ala-kadarnya. Saya pulang dengan rasa malu karena sadar bahwa saya menunjukan sikap yang tidak apresiatif terhadap penampil.
Sedikit kilas balik, budaya kritik musik sudah lama ada di Indonesia. Nama seperti Amir Pasaribu yang sudah bergelut di dunia musik sejak era kolonial Jepang dan aktif menulis buku-buku dari tahun 1952 (Menuju Apresiasi Musik (NV Noordhof-Kolff)) sampai tahun 1986 (Analisis Musik Indonesia) perlu diingat. Lalu di era 1960-an sampai 1970-an nama-nama seperti Denny Sabri, Remy Sylado, Bens Leo, Theodore KS, dan Denny Sakrie banyak berkontribusi di dunia permusikan Indonesia berkat tulisan dan hasil reportasenya. Di era yang sama, majalah Aktuil lahir dan pernah menjadi bacaan seputar isu musik yang wajib dibaca. (Resmadi, 2018: 145-148).
Jurnalis musik tentu masih dibutuhkan, walaupun berkat internet dan alat komunikasi yang terkini para musisi sudah bisa membuat program publikasinya secara mandiri, seperti yang dilakukan The Panturas, Seringai dan The Adams. Akibatnya, eksklusifitas yang telah lama dimiliki oleh media itu hilang dan anggota redaksi harus memeras otak lebih kuat lagi guna menciptakan produk yang lebih relevan.
Dikutip dari Whiteboard Journal, Adib Hidayat mengatakan “Rasanya media musik sekarang pun masih sangat penting, untuk memilah dan memberikan porsi lebih yang memang seharusnya bisa ditelaah dan dikupas lebih maksimal”.
Selain kualitas redaksi yang perlu ditingkatkan, inovasi format konten yang relevan dengan mengikuti perkembangan bidang ICT yang begitu dinamis perlu diwujudkan. Situasi ini yang mengharuskan anggota redaksi untuk bisa terampil menguasai platform dan instrument terkini, tidak cukup dengan kemampuan dasar reportase dan menulis berita.
Media alternatif juga harus mampu membuat produk yang lebih relevan dengan pembacanya dari segi konten maupun medium yang digunakan, sebagaimana praktik yang digunakan oleh banyak perusahaan demi mengejar target pasar yang dikejar. Berbeda dengan media arus utama yang berorientasi keuntungan (sehingga rating dijadikan alat tukar keuntungan), media komunitas bisa digunakan sebagai alat merangkul partisipasi publik sebanyak-banyaknya. Melalui momentum ini kita bisa menciptakan ruang publik di mana orang lebih memiliki kebebasan untuk berinteraksi dan mendapatkan informasi yang lebih variatif dan berkualitas.
Publik juga perlu diingatkan kembali bahwa mereka mampu berkontribusi dengan cara mengirimkan hasil pemikirannya ke media yang sudah ada dan dari pengelola media sendiri pun harus siap mewadahi itu dengan inovatif, responsif dan fleksibel agar terciptanya sebuah res publica. Penyediaan open column seperti yang dilakukan Whiteboard Journal pun perlu dicontoh oleh banyak media alternatif lainnya agar meningkatkan peluang partisipasi publik.
Media alternatif sebaiknya lebih sensitif melihat talenta-talenta lokal. Pengelola redaksi perlu memberikan ruang lebih kepada mereka, jangan lagi-lagi mengangkat talenta besar yang sebenarnya sudah diangkat oleh media arus utama. Sifatnya yang dekat dengan komunitas masyarakat maka seharusnya tugas untuk voicing the voiceless bisa terwujud.
Kejenuhan ini akan terus berlangsung apabila pengelola media alternatif tidak menaruh banyak perhatian terhadap inovasi format konten dan usaha mempertajam keterampilan. “The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn and relearn.”, pungkas Alvin Toffler.
Selamat “hari musik nasional”.