Mengolah kembali sebuah karya yang sudah bagus adalah tantangan besar musisi. Diantara menjadi lebih baik atau justru sebaliknya, pendekatan seperti ini jelas membawa tantangan yang tidak sepele. Apalagi ketika trek yang diolah merupakan karya yang terhitung masyhur. Dari titik ini, saya mengajak kita untuk mengulas ramuan Drizzly dalam menghadirkan “I Would Never” kembali.
Drizzly sendiri merupakan quartet dream pop asal Sidoarjo, Jawa Timur. Beranggotakan Manda (vokal), Moza (bass), Faye (gitar) dan Cilo (drum), unit dibawah naungan Sun Eater ini konsisten menghadirkan karakter “peri-peri” disetiap treknya. Melalui instrumen elektrik, reverb tebal, serta vokal yang mengalun merdu seakan mengajak kita menuju dunia lamunan. Bagi saya dunia ini direalisasikan dalam lensa sedikit berembun disertai cahaya matahari yang menembus setiap celah. Pengalaman ini sungguh awalan yang baik nan berkesan.
Kembali berbicara tentang topik ulasan utama, single yang dihadirkan Drizzly ini sejatinya tercipta oleh Mocca pada 2004 lalu. Tersaji pada album Friends, trek ini meninggalkan jejak akustik yang mesra di kepala. Dari memori ini jugalah penilaian saya terhadap “I Would Never” versi para peri tersaji.
Sebagai buah karya penghormatan dan perayaan 20 tahun, “I Would Never” dihadirkan Drizzly dengan tepat. Nyaman mentransformasi dan memadankan alunan akustik, mereka mampu membawa kesan nostalgia yang tidak pernah terbayangkan oleh saya. Dalam istilah puitisnya, Drizzly telah mengajak saya untuk membayangkan masa lalu dan mengingat masa depan dalam waktu yang bersamaan. Ditangan para peri, karya berusia 20 tahun ini terasa tak menua sama sekali.
“Kami rasa ini adalah salah satu proyek seru bagi Drizzly. Personally, band kami juga ada kiblat musik ke Mocca dan waktu ditawarkan proyek ini, kami bener-bener excited banget. Sebetulnya ada 2 lagu yang jadi pilihan untuk kami aransemen yaitu “I Think I’m in Love” dan “I Would Never”. Akhirnya kami jatuhkan pilihan ke opsi kedua karena merasa lagu ini cocok ke karakter musik kami,”
Drizzly via Press Release
Kutipan diatas saya rasa bisa menjawab mengapa karya ini bisa dibilang baik. Hasrat yang mereka punya dalam menjadi band “proper” terlihat nyata dengan tidak menggampangkan ketika dihadapi oleh opsi. Pertimbangan mereka terhadap bagaimana akustik akan beresonansi eksentrik dalam sajian elektrik adalah bukti kebajikan mereka untuk tetap otentik
Dibawah supervisi langsung Mocca, Drizzly mengakui adanya debar yang kencang ketika mengetahuinya. Hal ini sangat bisa diwajarkan, mengingat status mereka dahulunya hanya penggemar kini menjadi lebih erat. Benar saja, deg-degan yang dirasa itu berbuah manis pada kesediaan Arina Ephipania (Mocca) sang pemilik karya untuk terlibat secara langsung. Diproduseri oleh Drizzly & Dennis Ferdinand, Sajian lagu ini berpadu hangat memeluk memori semakin erat.
“Sebetulnya kita deg-degan takut ada revisi mayor, tapi rupanya Teh Arina & Kak Riko langsung suka. Mereka ngiranya Drizzly tuh band Bandung pas pertama denger, dan meskipun berbeda domisili, rekaman berlangsung lancar dengan part kami direkam di Trek House Sidoarjo dan Teh Arina merekam partnya sendiri di Bintaro,”
Drizzly via Press Release
Menandakan keberanian dan kesungguhan Drizzly dalam bermusik, single “I Would Never” ter-reproduksi secara matang. Diantara kesan menjadi lebih baik ataupun buruk, kali ini saya rasa para peri telah berhasil menghadirkan keajaiban baru. Memperjelas posisi mereka, projek anyar ini tersaji harum dalam mewangikan nostalgi untuk menjadi abadi.
Akhir kata, seperti ulasan pada umumnya, saya sangat merekomendasikan kalian untuk menilai langsung “I Would Never” versi dream pop ini—bagi Drizzly, I’m so ready with y‘all (another) new journey.