Tak ada satupun jawaban mutlak yang mampu menjelaskan alasan terjadinya perubahan manusia di era menuhankan ketenaran. Setiap cerita telah diperjual belikan hanya untuk menarik perhatian masyarakat dan meraih kekayaan. Hal ini sudah lumrah bagi mata dunia dan segala kerusakannya.
Terbentuknya citra dan tren merupakan hal yang digemari oleh setiap kalangan masyarakat. Semua orang telah menanggapi setiap tren yang terjadi dengan respon positif, bahkan terdapat sebuah cibiran pedas karena tidak sesuai dengan adat istiadat dan norma-norma yang ada. Setiap membuka media sosial, perdebatan sudah seperti makanan sehari-hari dan menelan mentah-mentah setiap kelakuan dari idola.
Memang terdengar lucu sekali, karena kita pun saling menjatuhkan satu sama lain dan bersaing untuk meraih tujuan yang sama, tetapi dengan cara yang berbeda. Kita pun berlomba untuk menjadi bijak dalam menanggapi sesuatu, tetapi apakah kita sudah cukup bijak untuk menerima realita yang sesungguhnya?
Laze merupakan salah satu rapper yang mencoba untuk menanggapi fenomena ini. Rapper asal Jakarta Selatan ini baru saja mengeluarkan karya terbarunya yang berjudul “Simulasi Harta Takhta” di bawah naungan PreachJa Records. Jujur saja, saya pun cukup terkejut karena Laze tidak pernah kehabisan kejutan dalam setiap perilisan lagunya.
Menurut penilaian pribadi saya, rapper ini dapat dikategorikan sebagai rapper dengan kemampuan di atas rata-rata, ia tidak hanya mencoba mengeksplorasi sebuah teknik perangkaian kosakata dan nge-rapnya, tetapi ia juga memberikan kejujuran dan rendah hati dalam penyampaian pesan di dalam setiap karyanya.
“Simulasi Harta Takhta,” dari judulnya saja pasti ada yang mengganjal dari pemikiran Laze atas kelakuan masyarakat masa kini. Liriknya terkesan puitis nan realistis karena ia tidak berusaha untuk menghiperbolakan setiap kalimat yang dipilih. Hal yang cukup saya kagumi dari pengambilan tema untuk lirik ini adalah kita tidak perlu menjadi “gangster” untuk menyampaikan keresahan, cukup menjadi diri sendiri saja.
Kalimat “Di kota kita cari mahkota” menjadi lirik pembuka pada lagu ini. Lirik ini sempat membuat saya berpikir, “Apa benar di dunia ini semua orang memiliki tujuan yang sama? Apakah dalam kehidupan sehari-hari manusia hanya membahas kekayaan dan ketenaran saja?”. Tentunya jika melihat di media sosial, kita akan disajikan beragam konten atau pembahasan yang itu-itu saja, lagi-lagi bicara topik seputar harta ataupun kelebihan yang dimiliki. Parahnya, setiap hari ada saja kasus korupsi atau pencucian uang yang dilakukan oleh penguasa.
Musisi lain mencoba menceritakan kejujuran dengan kesimpulan bahwa “semua akan baik-baik saja”. Namun, hal ini sangat berbeda dengan kejujuran yang ingin diutarakan dari seorang Laze. Menurutnya, mungkin kita harus melewati kenyataan pahit bahwa tidak selamanya puncak itu indah, tetapi kita bisa menciptakan puncak yang sesuai dengan keinginan kita, di mana pada puncak itu kita bisa tenang dan tidak perlu berlari begitu cepat.
Sama halnya pada verse pertama dan kedua dalam lagu ini. ia mencoba menerangkan bahwa tren telah membuat masyarakat untuk memaksa melewati batas dalam dirinya, di mana setiap orang berusaha mencapai sesuatu dengan bukan menjadi dirinya sendiri. Memiliki ambisi dan melupakan semua orang sehingga hanya bisa berkawan dengan diri sendiri merupakan realita masa kini. Mengapa demikian? Karena manusia masa kini mudah sekali menilai orang hanya dari zodiaknya atau rasi bintang, padahal hal ini belum tentu valid adanya.
Manusia hakikatnya suka membandingkan orang lain berdasarkan aspek fisik maupun nonfisik. Hal ini seringkali ditemukan dalam lingkungan terdekat kita, seperti dalam pertemanan maupun lingkup keluarga. Tuntutan ini menjadi problematika masa kini dan memberikan perasaan layaknya terpenjara. Mungkin inilah yang menyebabkan Bali menjadi destinasi terfavorit dan tren di dalam kehidupan masyarakat, karena di Bali semua orang bisa berlibur dan menyembuhkan diri, yaaa sebut saja “healing”.
Mungkin “healing” di Bali mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, tetapi ada satu cara yang bisa dilakukan tanpa mengeluarkan modal sedikitpun, yaitu dengan membuka akun motivasi. Memang, kebiasaan manusia adalah memilih target yang tidak sesuai dengan kemampuannya dan memuja kata-kata motivasi. Akhirnya, yang kita saksikan hanyalah sebuah kepalsuan, kita pun mudah terbodohkan.
Masing-masing dari diri kita pasti pernah berada di tahap seperti yang dijelaskan pada bagian verse pertama, yaitu masih mencoba lari dari kenyataan atau “denial” dengan berimajinasi. Hal ini ditambah dengan penjabaran dalam verse kedua yang dapat dikatakan sebagai sebuah tamparan keras karena menceritakan pahitnya realita dari sisi lain sebuah tren.
Terkadang kita bekerja keras dengan tujuan yang salah. Yap, kerja keras manusia terkadang hanya untuk mengikuti tren semata. Setiap hari kita pergi menghirup asap dan pulang berjalan di trotoar sambil memikirkan masa depan. Memang, kebahagiaan kita direnggut oleh kesibukan meskipun gajinya tidak seberapa. Inilah penyebab tumbuhnya tren yang membawa ke arah negatif, seperti mengikuti investasi bodong dengan adanya janji-janji manis di awal.
Lagu ini mengingatkan saya ke dalam tema pada album “Puncak Janggal”, karena setiap rilisannya menceritakan fase-fase kehidupan dari masa kecil hingga sekarang. Bagi saya, single ini seperti fase selanjutnya, di mana pada fase ini saya seperti diperlihatkan bahwa “apa yang dilihat, belum tentu benar adanya”.
Saya pun memahami apa yang ingin disampaikan oleh Laze terkait permasalahan ini. Kita selalu membandingkan kebahagiaan diri kita dengan kebahagiaan orang lain. Salahnya, masyarakat masa kini menganggap bahwa dengan mengikuti tren, mereka dapat mencapai kebahagiaan itu. Sebaliknya, mereka justru hanya mendapatkan kerugian yang bertubi-tubi. Saya percaya bahwa pada suatu titik, kita akan mengalami kebahagiaan dan kesuksesan dengan waktu dan caranya tersendiri.
“Kita melihat kebahagiaan itu seperti pelangi, tidak pernah berada di atas kepala kita sendiri, tetapi selalu berada di atas kepala orang lain.” – Thomas Hardy