Tentunya saat menyebut nama Majalengka, kebanyakan orang akan bertanya-tanya karena tidak banyak yang mengetahui tentang daerah ini. Sama halnya seperti yang sering saya alami ketika bertemu orang baru dan memberitahu mereka tentang dari kota mana saya berasal, mereka akan bertanya-tanya “Majalengka itu di mana?”.
Meskipun masih banyak orang yang belum mengetahuinya, kota kecil yang berada di kaki Gunung Ciremai ini menyimpan banyak keragaman seni dan budaya, khususnya dalam permusikannya. Dan kali ini, saya memiliki kesempatan untuk sedikit membahas tentang permusikan masa kini yang terjadi di Majalengka.
Banyak sekali skena musik yang terbentuk di kota ini, mulai dari skena reggae, hip-hop, underground dan sebagainya. Dari sekian banyak komunitas yang terbentuk, diantaranya terdapat Wind City Collective, Jatiwangi Art Factory, Kirik Nguyuh, Konser Kampung dan Circle Cypher. Dari sini bisa dilihat bahwa skena musik yang ada di Majalengka sedikit banyaknya sama seperti skena musik yang ada di kota-kota besar, tentu dengan keragaman komunitas berdasarkan genrenya.
Di masa sekarang, sebagian besar komunitas yang ada di Majalengka berdasarkan pandangan saya kini tidak seproduktif sebelumnya yang mengadakan berbagai acara dan kegiatan, tentu hal ini terjadi lantaran tertekan situasi pandemi. Seperti halnya Hujan Keruh yang masih termasuk ke dalam komunitas Konser Kampung, yaitu sebuah acara “Ruang Kita” yang di dalamnya membahas mengenai berbagai budaya, tetapi saat ini tidak digelar karena adanya pandemi Covid-19. Begitu juga acara dari komunitas Kirik Nguyuh, yaitu sebuah acara “Kawin Batu” yang di dalamnya membahas dan menampilkan alat musik yang terbuat dari batu-batuan.
Tetapi di samping itu semua, masih ada juga beberapa komunitas yang tetap produktif dengan acaranya di masa pandemi ini. Seperti komunitas hip-hop di Majalengka, yaitu Circle Cypher, mereka tetap produktif dengan mengadakan acara gathering beberapa bulan yang lalu, tepatnya di bulan Mei. Selain itu, ada juga Jatiwangi Art Factory yang tetap produktif dengan acaranya yang berkaitan dengan kebudayaan di daerah Jatiwangi.
Dari banyaknya keragaman genre yang terdapat di Majalengka, tetap saja lagu-lagu yang sering didengarkan oleh orang Majalengka saat ini adalah lagu yang memang sedang trending, seperti lagu yang sering diputar di berbagai iklan media sosial dan tv. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar, karena memang lagu-lagu tersebut rasanya mudah didengarkan. Selain itu, karena sering diputar di platform umum, maka menjadikan lagu-lagu tersebut lebih menempel ke telinga mereka.

Padahal di samping itu semua, banyak band dan solois dari Majalengka yang namanya mulai beranjak naik dan tampil di panggung-panggung ternama. Contohnya seperti Lair, sebuah grup band unik yang mengusung genre pantura dengan sajian alat musik yang terbuat dari genteng, mereka pernah menginjakkan kaki di panggung Synchronize Fest. Tak hanya itu, karena selain bermain di Synchronize Fest, pada tahun 2022 mereka juga mengadakan tour di beberapa negara dari 3 benua yang berbeda, dengan judul “1000 km++ World Tour” (sedang berlangsung dari Maret-September 2022).

Selain itu, dari genre pop punk dan hardcore terdapat Hompimpah dan Worthless yang keduanya pernah bermain di Hellprint. Sebuah acara yang namanya sudah tidak asing bagi kebanyakan orang, salah satu konser musik terbesar yang ada di tanah air ini, dan Hompimpah serta Worthless berkesempatan untuk tampil pada Reunited Moment Eps.6 sebagai band Superfriends dari Majalengka.
Dengan banyaknya genre dari skena musik yang ada di Majalengka, hal ini saya rasa menjadikan skena musik Majalengka seperti skala kecil dari skena musik yang ada di kota besar seperti di Bandung dan Jakarta. Oleh karena itu, tidak ada lagi keraguan bagi skena musik yang ada di Majalengka untuk berkembang menjadi lebih besar.
Sayangnya, dibalik keragaman yang ada, pemain yang berperan di dalamnya masih terhitung sedikit, baik dari musisi maupun penikmatnya. Hal tersebut mengakibatkan orang awam tidak mengetahui bahwa di daerah ini terdapat berbagai komunitas-komunitas. Ditambah dengan adanya situasi pandemi, maka mengakibatkan komunitas yang ada tidak bisa seproduktif dahulu kala.
Selain dari sedikitnya orang yang berkecimpung dalam ekosistem perskenaan daerah ini, fasilitas yang tersedia di Majalengka nyatanya masih kurang dan minim dukungan dari pemerintah setempat, bahkan tempat berkumpul bagi komunitas-komunitas inipun hampir tidak ada. Padahal jika terdapat fasilitas yang layak dan dukungan penuh dari pihak-pihak lainnya, skena musik yang ada di Majalengka ini tentunya akan jauh lebih maju dan lebih bisa menggaet banyak orang.