Ilustrasi Cover dari “360” (Sumber: Dokumentasi Istimewa).

Begitu membosankan melihat para pengguna media sosial hanya memusatkan genre emo pada satu band saja. Mungkin jika emo se-populer itu, genre ini tidak hanya menggambarkan soal parade dan marching band, atau pemilihan judul yang terinspirasi dari sebuah penyakit yang mematikan. Adakah cara lain untuk saya agar bisa merayakan perpisahan dan kekecewaan tanpa harus mengikuti selera orang lain.

Hampir mendekati dua dekade, kehadiran emo mewarnai lika-liku kehidupan seseorang dengan berpenampilan layaknya isi dalam Tiktok Madura. Tidak selamanya emo digambarkan dengan gaya rambut milik sang tokoh antagonis di anime Naruto, seperti Sasuke, dan menggunakan make-up biar memancarkan efek pucat. Emo sendiri juga mengalami adaptasi oleh zaman, terutama dalam segmentasi peminatnya.

Kesadaran itu membawa pengetahuan baru kepada saya bahwa emo itu bukanlah soal penampilan, melainkan sebuah ungkapan perpisahan dengan perasaan ketidakrelaan. Setiap orang mengenal emo dengan penampilan, kalau saya mengenal emo dengan cover albumnya saja, yaitu berupa foto rumah. Hal ini pernah saya dapati dari albumnya American Football (1999) dengan segala jiwanya yang depresif nan impulsif.

Ilustrasi Foto Personil Norch (Sumber: Dokumentasi Istimewa).

Jujur saja, saya mencintai emo dengan riff gitarnya yang kompleks, adanya perpaduan unsur math rock dan midwest yang membuat saya menyukainya. Melihat pemilihan tone suaranya, saya begitu tertarik dengan kejernihan tone yang dikeluarkan gitar jenis telecaster dan jazzmaster. Hal ini pun ternyata dapat saya temui pada suatu band asal tanah air yang baru saja merilis single “360”, yaitu Norch.

Kalau kalian mencari tone suara seperti Movements, I’m Glad It’s You, dan Citizen dengan penggalan lirik seperti Turnover, Free Throw, dan American Football, saya sarankan sih anda harus mendengarkan karya Norch yang berjudul “360”. Supergroup asal Kediri, Jawa Timur ini telah sukses menjadi perbincangan dengan merilis single yang mampu mengajak para penikmat emo untuk kembali bernostalgia.

Menariknya, lagu ini tidak terkesan seperti lagu lokal pada umumnya, melainkan “360” dapat menghasilkan tone suara yang berkualitas nan menggigit di kuping. Pablo sebagai produser dan gitaris dalam band ini, rela menuntaskannya dari pagi hingga ketemu pagi sambil dibantu oleh Setyo sebagai engineered dari Richnest Record. Menurut saya, upaya mereka berdua telah terbayarkan dalam lagu ini.

Ilustrasi Foto Norch (Sumber: Dokumentasi Istimewa).

Proses penulisan lirik sepertinya hampir sama dengan lagu emo lainnya. Kalau tidak berbicara soal perpisahan dan kekecewaan, biasanya sih membahas soal ego. Peran ego selalu berkaitan di dalam perasaan ketika adanya pertemuan dan perpisahan. Dengan kata lain, liriknya sudah biasa untuk sebuah karya yang luar biasa.

Namun, pertanyaan saya hanyalah satu mengenai emo, mengapa di dalam setiap band yang mengusung konsep emo memilih rumah atau sosok perempuan dalam cover albumnya? Saya masih penasaran dari makna filosofis dari bentuk rumah dan sosok perempuan yang digunakan dalam cover album genre emo. Asumsi saya berujung pada pengkategorian kedua hal tersebut sebagai suatu hal yang harus ditinggalkan.

Perpisahan itu memanglah berat, apalagi ditambah dengan ego yang mendominasinya. Sehingga, ciri khas vokal yang dilantunkan oleh Manaditara sebagai vokalis Norch terlihat mampu membawa dan memberikan penekanan kepada para pendengar untuk mencoba memahami peran ego dalam perpisahan. Menurut saya, lagu ini mampu memberikan tingkatan emosional yang lebih mendalam.

Sebagai kata penutup, Norch menjadi salah satu band emo yang paling saya tunggu karya selanjutnya karena mampu memberikan pengalaman atau keinginan saya dalam mendengarkan musik. Dengan kata lain, saya dapat mencapai titik emosional yang berbeda. Saya percaya Norch bisa mengeksplorasi tone suaranya lebih dari karya yang sekarang sehingga memberikan vibe kesedihan yang lebih mendalam.