Saya awalnya tidak tau bagaimana cara untuk mendeskripsikan jenis musik dari sejajaran musisi yang sedang nge-trend saat ini, hingga akhirnya saya menemukan playlist dengan nama ‘Bedroom Pop’ di Spotify. Playlist tersebut berisikan lagu-lagu yang kerap membuat kamu terlihat edgy ketika mendengarkannya, seperti Clairo, Cuco, No Vacation, Jakob Ogawa, serta nama-nama lainnya yang mungkin sangat familiar bagi para penikmat genre musik serupa.
Adik saya merupakan seorang maniak bedroom pop paling tengil yang pernah saya kenal. Ketika dia masih jadi snob dalam hal ini, dia benar-benar tidak mau memberi tahu saya tentang lagu-lagu apa saja yang tengah didengarkannya. Saya tidak paham apakah dia tidak mau kalah keren sama saya, atau memang dia tidak mau lagu-lagu yang kala itu dianggapnya sidestream berubah menjadi mainstream karena saya. Padahal, saya juga bukan influencer yang bisa bikin lagu-lagu ‘keren’ favoritnya itu menjadi banyak didengar orang lain. Untungnya, sekarang dia sudah tidak lagi berada dalam fase bedroom pop-snob sehingga setidaknya saya bisa menjadikan playlist-nya sebagai referensi musik saya ketika tengah bosan dengan musik-musik yang saya dengar.
Saya sendiri bukan penikmat bedroom pop. Oke, genre itu memang enak didengar ketika saya tengah belajar, tidur, dan menyetir, tetapi tetap tidak enak untuk didengar berulang-ulang. Cinta pertama saya adalah indie rock, dan akan terus selalu begitu. Saya menghargai selera musik yang dimiliki tiap-tiap orang, baik itu k-pop, reggae, maupun musik tradisional. Oleh karena itu, saya juga berharap orang lain dapat menghargai selera musik saya, dan berhenti menganggap saya tidak keren karena tidak mengikuti perkembangan dari bedroom pop.
Seorang teman pernah terheran-heran karena saya tidak tahu siapa itu Boy Pablo. Jadi, begini ceritanya.
Tahun lalu, kami berdua tengah menuju ke sebuah restoran untuk makan siang di daerah Jakarta Selatan dengan mobilnya. Kemudian, lagu “Dance, Baby!” milik Boy Pablo muncul di radio. Sontak, teman saya memasang wajah kaget karena lagu tersebut berhasil tembus ke media mainstream. Saat itu saya belum tau siapa Boy Pablo, dengan polos saya tanyakan saja kepadanya.
“Ini lagunya siapa, sih?” ujar saya.
Dia pun malah memasang wajah bingung, seakan-akan tidak percaya sama pertanyaan yang barusan saya lontarkan.
“Lo nggak tau ini lagunya siapa?” balasnya masing dengan ekspresi bingung.
“Nggak.” jawab saya singkat.
“Hah, seriusan lo nggak tau Boy Pablo? Lo hidup di bawah batu?”
Saat itu rasanya saya pingin sekali membalas dia dengan menanyakan balik tentang pengetahuannya mengenai keberadaan album terbaru Phoenix yang juga rilis pada tahun yang sama. Tetapi, saya terlalu malas berargumen dan memilih untuk mengalah dan menikmati lagu tersebut dengannya. Selain itu, saya juga seorang penumpang yang tengah nebeng dan tidak ingin untuk turun di tengah jalan. Maka dari itu, diam memang sudah menjadi pilihan yang paling tepat.
Tahun ini, nama Boy Pablo nyatanya malah menjadi semakin populer. Terbukti dari tersebarnya nama musisi asal Norwegia tersebut pada wish-list dari sebagian besar festival musik berskala internasional di Indonesia. Namanya juga tak jarang disandingkan bersama sejajaran musisi bedroom pop lainnya seperti Mac Demarco, Cosmo Pyke, dan pastinya, Rex Orange County.
Segar dan orijinal adalah dua kata yang dapat mendeskripsikan para musisi bedroom pop yang tengah diminati oleh para anak muda di Indonesia. Mereka tidak enggan untuk menawarkan ide-ide yang lebih ekspresif dan melawan aturan-aturan kaku dalam bermusik. Dilansir Pigeons & Planes, John Stein dari Spotify mengatakan bahwa musik bedroom pop layak mendapatkan apresiasi karena keaslian serta kedekatannya terhadap para pendegar. Stein juga mengatakan, ia dan timnya di Spotify melabel musik-musik tersebut dengan genre bedroom pop karena sebuah kamar tidur, bagi sebagian orang, merupakan satu-satunya tempat di mana mereka dapat merasa bebas berekspresi dan menjadi diri mereka sendiri.
Kreativitas para musisi bedroom pop yang independen memang layak diancungi jempol. Tidak heran bahwa mereka memiliki banyak penggemar, termasuk di Indonesia. Namun, saya merasa mereka layak untuk diapresiasi sebagai lebih dari sebuah tolak ukur keren atau tidaknya selera musik seorang anak muda. Mereka layak memperoleh penggemar sungguhan yang benar-benar mengkritik serta mengapresiasi karya yang mereka ciptakan, dan tidak hanya mendengarkannya demi popularitas.
Karya mereka bernilai lebih dari sekadar topik selingan dalam obrolan mengenai siapa-yang paling-edgy yang sering terdengar di warung-warung kopi masa kini.