Angin semilir berembus begitu saja mengiringi seorang musisi yang sedang bermain gitar kopong. Bak Oma Irama yang sedang jatuh cinta pada Ani, semua orang begitu segan kepadanya dan mencap dia sebagai punggawa pencipta musik tertentu. Ah, mungkin inilah ilustrasi yang agak cocok untuk mendefinisikan musik ‘folk’ atau apapun itu namanya dewasa ini.

Ada alasan tertentu kenapa saya begitu gatal ingin membahas musik ‘folk’ ini, entah karena terbawa tren remaja kota yang ingin main ke gunung, acara FISIP Folk Fest yang diadakan Kamis kemarin, atau bahkan tulisan Iksal yang ditulis beberapa jam lalu dan membuat saya tercengang saat membaca kenyataan bahwa Cucukrowo Mekgejin sudah jadi pengamat skena saat ini. Ya, angin terbawa angin, rasanya saya ingin menyanggah beberapa pendapat yang dilontarkan dari kedua belah pihak yang sedang berdebat itu.

Sebelumnya, saya mungkin dengan jujur akan menyatakan bahwa saya tidak berpihak pada seorang pun yang ada di dunia ini. Lah, iya, saya kan seorang Nietzsche yang mengharap mati di puncak pegunungan Alpen sambil orgasme itu. Namun, intinya, saya tidak bermaksud menyalahkan kedua pihak yang kini tengah beradu mulut di media yang saya cintai bernama gilanada.com ini.

Sebelum melantur lebih jauh, mungkin saya akan mencoba mendefinisikan musik ‘folk’ itu terlebih dahulu. Menurut Kim Ruehl, yang di blog-nya tertulis keterangan seorang ‘folk music expert’, folk music adalah sebuah gaya dalam bermusik yang merepresentasikan sebuah komunitas tertentu dan dapat dilagukan oleh siapapun tak terkecuali oleh seseorang yang mencap dirinya bukan sebagai musisi asalkan diiringi oleh instrumen yang memadai’. Simpelnya, yang perlu kita garisbawahi di sini adalah persoalan komunitas dan instrumen yang memadai seperti di atas.

Bagi seorang musisi, mungkin saya sendiri tak akan menyalahkan definisi bahwa folk adalah Woody Guthrie yang ikut- ikut kongsi dengan partai komunis Amerika atau Johny Cash yang me-remix ulang lagu memetik kapas sehingga laik untuk dimainkan di kafeteria. Namun, seperti yang kita ketahui bahwa pada kenyataannya musik folk itu semudah itu, komunitas dan instrumen. Tak perlu rasanya menambahkan dengan vokal Ekky Silampukau yang mirip Bob Dylan itu. Toh, zaman sudah berubah, Mumford and Sons saja sudah bertransformasi jadi seperti Bottlesmoker begitu juga Tegan and Sara yang Heartrob miliknya mirip-mirip dengan lagu “Cool Kids”-nya Echosmith yang sering diputar di warnet- warnet terdekat.

Meski demikian, Iksal sendiri tak sepenuhnya salah. Saya mengamini bahwa banyak pula band-band kampus yang memiliki cita rasa folk yang menggugah seperti Alvin & I, Deugalih, Sky Sucahyo, Orkes Bagong Februari, dll tetapi pada kenyataannya, saya rasa acara ini sendiri sudah cukup ditambah kehadiran musik tradisional seperti karinding, angklung, serta teater dari Paguyuban Mahasiswa Sastra Sunda (PAMASS). Sedikit teoretis, karena pada kenyataannya teater juga merupakan bentuk semiotika secara tidak langsung. Scouting itu perlu. Namun, pada kenyataannya banyak sekali yang perlu diperbaiki dalam konteks penyelenggaraan event dewasa ini. Setidaknya, acara ini tidak separah konser Metallica dengan opening act Raisa, ataupun Java Jazz yang menganjurkan kaum intelek merobohkan panggung ala JKT48.

Ilustrasi foto: rmolsumsel.com