Beberapa bulan ini, kasus ‘begal’ memang begitu cepat menyebar luas di media. Kasus pembegalan yang terjadi dekat wilayah ibu kota membuat media membuka mata perihal kasus yang sudah ada sejak lama ini. Masyarakat yang paranoid kemudian memulai aksi mereka berbuat semena- mena pada begal. Sebagai contoh, di Tangerang terjadi kasus pembakaran begal yang kemudian menjadi lelucon massa. Sebagai manusia, tentu saja begal mempunyai hak hidup, setidaknya hak untuk membela diri.

Kasus pembakaran tersebut mengingatkan saya pada satu hal, bukan pembakaran Nabi Ibrahim yang kita kenal saat ini, melainkan sebuah album dari grup balada asal Kota Pelajar Yogyakarta, Melancolic Bitch atau yang kita kenal sebagai Melbi. Di tahun 2006, band yang digawangi oleh Yosef Herman Susilo (Gitar), Ugoran Prasad (Vokal), Yennu Ariendra (Gitar, Synth), Septian Dwirima (Drum),Wiryo Pierna Haris (Gitar), dan Richardus Ardita (Bass) ini merilis sebuah album yang menorehkan garis sejarah besar dalam hidup saya. Judulnya Balada Joni dan Susi. Saya sendiri pada awalnya hanya mengenal band ini sebagai salah satu band yang memainkan puisi dari pujangga favorit saya, Sapardi Joko Damono dalam format musik yang ‘renyah’ untuk dilahap.

BJS
Album dari Melancholic b1tch, “Balada Joni dan Susi” yang dirilis pertama kali pada tahun 2006

Pada awalnya, saya menyangka bahwa album yang mencantumkan sebuah nama ini hanya sekadar album pop yang cengeng seperti di acara musik pagi. Pasalnya, dari judul saja saya hanya mendapatkan dua buah nama, satu nama pria kampung yang hidup di kota besar (Joni) dan satu nama wanita yang bernuansa sangat Indonesia (Susi). Namun, pandangan saya meleset 180 derajat, album ini merupakan rangkaian cerita yang mengajak kita bermain sebuah permainan yang harus kita selesaikan sampai akhir. Perjalanan satu minggu yang diringkas dalam 48 menit ini menyajikan sebuah kisah bersahaja yang menyajikan sudut pandang berbeda.

Setelah dipikir, apa hubungannya album ini dengan begal? Dan kenapa begal itu dibakar? -Saya tidak meyangka akan memasukkan jokes tidak manusiawi ini dalam tulisan saya, namun saya harap kalian mengerti derita psikologis dalam teks ini- Saya sendiri menilai jawaban dari pertanyaan di atas terlihat jelas dalam album emas ini. Pasalnya, lewat album ini kita bisa melihat secara langsung motif yang mendorong sebuah perilaku kriminal. Menurut saya, hal ini sendiri merupakan dorongan Ugo selaku penulis lirik yang memiliki latar belakang pedidikan sosiologi sehingga paham betul terhadap situasi yang terjadi.

Di lagu pertama, sebuah ketukan pintu megantarkan kita pada kisah yang akan kita ikuti. Derap langkah kaki yang kemudian diisi oleh gitar dan vokal berat Ugo seolah mengatakan bahwa mereka siap mengantarkan kita pada jalan cerita yang kompleks. Di lagu pertama kita diperkenalkan pada sebuah keadaan yang melibatkan dua orang muda- mudi yang sedang giatnya bercinta. Si pria bernama Joni, dan si perempuan bernama Susi. Kelas sosial yang berbeda mengharuskan cinta mereka terhalang oleh sekat tak terlihat. Hal ini yang kemudian membuat mereka lari dari kehidupan tersebut dengan alasan yang cukup puitis “Bulan Madu”.

Pada awalnya, “Bulan Madu” mereka berjalan bahagia, hingga Joni pun menyadari bahwa adegan cinta tersebut akan menabung maut baginya. Pasalnya, sebagai ‘pelarian’, tentu saja mereka tak sempat membawa perbekalan yang mencukupi untuk hidup mereka selanjutnya. Hal inilah yang kemudian dijelaskan dalam “7 Hari Menuju Semesta” yang menjadi dasar kegundahan Joni. Perjalanan seadanya pun dijalani mereka berdua lewat sebuah tembang yang bahagia, “Dystopia” menjadi representasi kelas bawah yang merupakan bagian emas dari album ini karena ritme ‘pantura’ yang seolah menjadi gambaran apa yang tidak mereka inginkan.

Di lagu selanjutnya, konflik pun mulai meramah ada diri Joni, Joni mulai gusa dan mengutuk apa pun yang ada di depannya termasuk televisi yang seolah menjadi berhala bagi semua orang. Tak pernah ada yang memerhatikan kehidupannya apabila ia tak masuk televisi. Ugo menegaskan kembali makna dari lagu ini lewat sebuah frasa di bait terakhir “karena semesta telah pepat dalam 14“. Hal inilah yang menjadi alasan paranoia kita terhadap ‘begal’. Kita tidak akan pernah takut pada ‘begal’ apabila tidak merasakan atau setidaknya melihatnya secara langsung, bukan? Sentralisasi media telah membuat kita dibutakan oleh sebuah kotak hitam. Pada kenyataannya, begal memang sudah lama terjadi, hal ini terbukti dari kita mengenal istilah ‘Bajing Loncat’, Bromocorah, dan banyak lainnya. Di satu sisi, mereka termasuk ‘spesies’ begal bukan?

Setelah membuktikan kebenciannya terhadap teknologi berupa televisi, Joni pun kembali berkicau. Dia gamang, Susi sakit, dan demam. Saat itulah Joni membisikkan sebuah “Nasihat yang Baik” ke telinga Susi yang sedang terbaring lemas. Joni pun dihantui sebuah keadaan yang mengharuskan dia mengambil tindakan ke supermarket terdekat. Joni yang bimbang kemudian melakukan komunikasi intrapersonal dengan dirinya sendiri yang diumpamakan sebagai tembok. tembok- tembok khayalan Joni pun menciptakan sebuah ‘propaganda’ yang mengharuskan Joni mencuri sepotong roti. Dari kisah di atas dapat disimpulkan beberapa faktor yang memengaruhi motif seseorang untuk menjadi begal yakni; Pertama, kesenjangan sosial yang begitu jelas di masyarakat, hal ini ditunjukkan pada frasa “hidup sedang bergegas, di reruntuh ruang kelas. Kota- kota menjalar liar dan rumah terkurung dalam kotak gelas; Dingin dan cemas.” Percaya atau tidak,  kita berada dalam sebuah kotak yang membatasi kehidupan. Pandangan si kaya atau si miskin, si cantik dan si buruk rupa, ataupun stigma transparan yang telah kita ciptakan dalam sebuah kenyataan. Masyarakat yang telah terpolarisasi menganggap bahwa miskin adalah hal yang hina dan kaya adalah cita- cita kemudian membuat si miskin merasa terasingkan dan akhirnya menginginkan kekayaan dalam bentuk instan; tak ada cari lain, hidup dengan harta atau mati sengsara.

Kedua, faktor yang memengaruhi seorang begal melakukan aksinya yakni keadaan yang mengharuskan dia mendapatkan sesuatu. Faktor ini muncul ketika seseorang dalam keadaan gamang yang mengharuskan dia kehilangan salah satu dari dua pilihan. Dalam konteks Joni dan Susi, Joni harus mencuri sepotong roti karena hanya terdapat dua pilihan; Joni harus ditangkap polisi karena mencuri roti, atau Susi mati di tangan demam yang menyerangnya yang otomatis menghilangkan perannya sebagai calon ayah di keturunannya yang akan datang. Seperti dideskripsikan majas kaya atau papa –sebuah ungkapan bermakna luas di tembang “7 Hari Menuju Semesta”-.

Dari perspektif begal, kita bisa melihat satu sisi kepribadian yang terintimidas. Kemiskinan yang panjangnya apabila ditaksir sepanjang pinggiran Sungai Ciliwung tadi membuat begal terpaksa memikirkan dua situasi; kaya atau papa . Keadaan begal yang berada di titik pendidikan rendah, uang pas- pasan, dan candu akan judi dan minuman keras terkadang membuat dilema mendalam bagi kondisi psikologis si begal. Keadaan ini pun membuat begal melakukan pembegalan yang menjadi pilihan terakhirnya untuk hidup.

Selain dari kedua faktor di atas, terdapat pula faktor yang bisa membuat seseorang melakukan aksi ‘begal’ yakni cinta. Nietzsche dengan gamblang menjelaskan bahwa cinta menimbulkan kegilaan, dan kegilaan tersebut terjadi karena suatu alasan yang tak lain adalah cinta sendiri. ‘Kegilaan’ ini pun dilakukan Joni ketika dia memilih situasi yang mengharuskan dia mencuri roti. Padahal, seperti yang dijelaskan Adam di lagu selanjutnya “Apel Adam”, dia dengan jelas menyatakan bahwa “Pencurian merusak keseimbangan.” Hampir setiap agama samawi memandang mencuri sebagai sesuatu yang tabu. Umat kristiani jelas- jelas mendapat larangan mencuri dari Tuhan, begitu pun juga Islam yang mewajibkan hukuman potong jari bagi yang melakukannya. Lebih ekstrem lagi, sebagian sejarah yang bersifat keagamaan menggambarkan pencurian sebagai musibah yang menyebabkan eksistensi diri manusia di muka bumi. Permainan frasa di lagu ini terkesan sangat unik, Adam yang mencuri apel dari surga tak terima bila apel curiannya dicuri oleh Joni.

Pada kenyataannya, begal melakukan aksinya ketika dia jatuh cinta pada sesuatu. Mengapa sesuatu? Pasalnya, hal yang menjadi sarana cinta seseorang tersebut bisa ada dalam bentuk apa saja. Entah itu manusia, uang, atau pun kegiatan tertentu. Cinta tak pasti bentuknya, namun cinta adalah candu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cinta memiliki arti makna suka sekali, atau sayang sekali sehingga makna yang dihasilkan bisa universal. Cinta yang menjadi candu kelak akan menimbulkan sebuah alasan untuk melakukan sebuah kegilaan. Setidaknya kita bisa membayangkan kenyataan bahwa kita terlalu ‘cinta’ pada suatu hal bukan?

Kembali pada Joni dan Susi, pada lagu selanjutnya, Joni kembali mengungkapkan kegelisahannya akan media. Joni yang telah tertangkap mencuri sebuah roti kemudian diadili dengan prosesi hukum yang rumit. Sebagai seorang pencuri, Joni tak luput dari incaran media yang menginginkan berita ringan. Mengingat kehadirannya di layar kaca yang terpampang hampir di tiap rumah, etalase toko pulsa murah, dan dipan rumah beratap jerami, Joni kemudian melancarkan rencananya menunjukkan eksistensi diri di depan Susi. Tak lama Joni dan Susi bertemu, akhirnya mereka berada di satu keadaan yang dapat menjawab pertanyaan “Mengapa begal dibakar?”

Joni yang menggendong Susi bertemu dengan sekelompok kerumunan yang tak bisa “membaca” situasi. Dua sejoli ini pun diharuskan bertemu masyarakat primitif yang tak mengenal tata hukum. Panorama brtengkorak yang hancur lebur. Joni dikalahkan oleh situasi; kebingungan tata hukum di sebuah tempat -yang jelas tempat ini bukan sebuah negara, karena negara mempunyai sumber hukum baik itu tertulis mau pun tidak- yang mengidap penyakit anomie akut seperti dikatakan Durkheim. Pengimajian tempat ini didukung dengan adanya tetabuhan yang mengingatkan kita pada soundtrack film klasik, Flintstones yang berlatar belakang pra sejarah.

Kesimpulannya, apabila kita melihat begal di kondisi saat ini, kita hanya berpikir bahwa begal adalah suatu hal yang hina dan pantas untuk mati di tempat. Namun, pada kenyataannya, kematian begal sendiri dihasilkan dari kebingungan kita terhadap penegakan norma hukum di negeri tercinta. Kita tak pernah memikirkan kenyataan bahwa begal merampok karena cinta, yang mungkin apabila kita membunuhnya maka kita sama saja membunuh apa yang dicintainya, entah itu cinta yang berwujud aktivitas, atau lebih utamanya keluarga. Setidaknya, ini hanya basa- basi dari saya yang ditujukan buat mereka yang sangat filsuf dan bertanya kepada dunia maya “Mengapa begal dibakar?”

Photo :

http://1cak.com

http://4.bp.blogspot.com