Saparua sebenarnya nama daerah di Maluku Tengah yang kemudian dijadikan nama Gelanggang Olah Raga di Bandung. Saya tak tahu apa yang membuat GOR yang diapit jalan Saparua dan Banda ini dinamai Saparua. Yang jelas pada tahun 90-an GOR Saparua seperti menjadi sebuah tempat suci bagi para pelaku dan penikmat musik di Bandung. Setiap minggu selalu saja ada event musik yang digelar di GOR ini. Dari mulai event musik berskala kecil hingga berskala besar seperti Hollabalo, Bandung Berisik, Bandung Underground dan Gorong-gorong. Dengan mengandalkan selebaran pamflet dan informasi dari mulut ke mulut ratusan hingga ribuan anak muda dari pelbagai daerah memadati Saparua. GOR Saparua pada saat itu seperti Mekkah atau Jerussalem nya para penikmat musik yang datang untuk memanjakan telinga mereka. Melalui beragam pertunjukkan yang digelar di GOR Saparua kemudian melahirkan band-band legendaris macam Pas Band, Puppen, Pure Saturday, Burgerkill dan band-band lainnya. Tak hanya melahirkan band-band legendaris, dari kegiatan pertunjukkan tersebut kemudian muncul industri rekaman indie seperti NAPI Record serta media cetak Ripple yang kemudian menjadikan era 90-an sebagai masa kejayaan skena musik indie Bandung baik underground, pop, punk dan sebagainya. Juga karena masifnya pergerakan skena musik indie di Bandung pada saat itu membuat Bandung ditasbihkan menjadi barometer perkembangan musik di Indonesia.

photo by: bandungtourism.com
GOR Saparua, Bandung. photo by: bandungtourism.com

Tak terasa sekarang sudah memasuki era millenium. Tentu banyak yang berubah. Band-band legendaris ‘generasi Saparua’ sebagian ada yang vakum bahkan bubar, sebagian membentuk band baru, sebagian lainnya masih berusaha bertahan untuk tetap berkarya. Tak hanya band, media seperti Ripple pun kini tak lagi beredar. Seperti pohon yang meranggas di musim panas, beberapa tokoh pergerakan ‘generasi Saparua’ satu-satu berguguran. Seperti yang terjadi pada awal tahun ini, Adhi dan Udhi personil dari salah satu band legendaris Pure Saturday memutuskan untuk keluar dari band yang ia ikut dirikan. Saya yang hanya sebagai penggemar tentu tak punya hak untuk memohon kepada Adhi dan Udhi untuk tetap tinggal dan terus berkarya. Kemudian yang saya rasakan setelah mendengar kabar tersebut adalah rasa kekhawatiran saya terhadap skena musik indie di Bandung. Para pionir perkembangan musik indie di Bandung kini telah memasuki usia yang mengharuskan mereka bekerja, berkeluarga dan mencari penghidupan yang layak. Tetapi bukan berarti industri dalam skena ini tidak mampu memberi mereka penghidupan. Ada kekhawatiran saya bahwa skena musik indie di Bandung tidak akan semeriah dahulu, monoton dan terkesan stagnan. Seperti nyonya tua yang duduk di kursi malas menghabiskan sisa nafasnya.

Belum habis dibuat sedih ditinggal duo kembar Adhi dan Udhi, kemarin di tengah perjalanan menuju An Intimacy vol. 6, saya kemudian dikejutkan dengan kabar bahwa ((AUMAN)) band heavy rock asal bumi Sriwijaya ini memutuskan mengakhiri aumannya diindustri skena indie dan menjadikan album keduanya sebagai penanda eksistensi terakhir mereka. Meski band cadas favorit saya ini jauh dari Bandung, saya kembali merasakan pesimis terhadap skena indie Bandung kedepannya. Sepanjang perjalanan menuju Loubelle Shop dimana An Intimacy vol. 6 ini dihelat kepala saya dipenuhi ingatan penampilan ((AUMAN)) di Monsterstress 2014 yang saya saksikan pada saat itu. Setelah itu saya bertanya-tanya band mana lagi yang akan memutuskan bubar yang saya harap saya tidak menemukan jawabannya.

Kemudian semuanya berbalik. An Intimacy vol. 6, micro gig yang bernafaskan regenerasi skena indie Bandung ini seperti sebuah suntikan raksasa berisi cairan optimis membuat siapapun yang hadir pada jumat malam kemarin yakin bahwa skena musik indie Bandung tidak akan padam. Kehawatiran dan ketakutan-ketakutan saya sebelumnya menguap begitu saja. Melihat Munthe, Heals dan Frau (saya tak sempat menyaksikan Bedchamber dan Strangers) membuat saya yakin bahwa skena indie akan baik-baik saja dan akan tetap menggemaskan. Apresiasi yang begitu besar terhadap micro gig semalam adalah tanda bahwa kemunculan band-band baru ini mulai mendapat perhatian dari para penikmat musik. An Intimacy yang kemarin memasuki volume 6 saya rasa akan menjadi sejarah dari regenerasi skena musik indie Bandung, juga menjadi batu tapal pergerakan pemain-pemain baru yang siap meneruskan perjuangan para senior ‘generasi Saparua’.  Melihat keriuhan An Intimacy saya rasa regenerasi ini akan sukses. Dengan dukungan trinitas; event organizer, media juga penikmat, An Intimacy akan menjadi ‘meriam’ baru berdaya ledak tinggi. Jika An Intimacy konsisten digelar untuk menyediakan ruang bagi band-band baru untuk mengenalkan karya mereka juga memberi musik yang representatif kepada khalayak bukan tak mungkin An Intimacy akan menjadi meriam baru di skena indie yang siap meledakkan pemain-pemain baru dan memberikan kado manis bagi para pendahulu yang berjuang di skena ini, sehingga mereka yang memutuskan berhenti dalam skena musik indie bisa duduk manis sambil menikmati karya-karya yang lahir dari generasi sekarang.

intimacy 3 copy

Dan malam itu, suara sendu Leilani Hermiasih yang menutup An Intimacy vol. 6 seakan menepuk-nepuk pundak saya guna menenangkan dan memberikan keyakinan bahwa skena ini tidak akan pernah mati dilindap zaman.

Ditulis oleh: Iksal R. Harizal // @ixalrizqi

Foto : R.M. Suryokusumo // https://suryoxdonatooo.wordpress.com