Painted House Parties jadi nama yang sudah tidak terlalu asing bagi aku karena beberapa kali sempat lewat di Spotify dan tiap kali mendengar lagunya aku jatuh cinta. Kali ini Painted House Parties melahirkan sebuah album baru bertajuk “butterfly lullabies” yang rilis pada tanggal 17 Juli 2023 kemarin.

Saat mendengar albumnya untuk pertama kali, aku langsung disambut dengan suit-suit burung yang seakan membuat aku jadi Princess Snowhite lagi jalan pagi di Lembang. Progresi nada yang minimalis dan kebanyakan terdengar seperti lo-fi serta synth yang mengalun panjang di setiap lagu, jadi poin-poin kenapa aku repeat terus si album kedua dari projek solo Ghazi Awandi Darusman ini.

Ghazi Awandi Darusman (Dok. Press Release)

Kalau menurut pembuatnya, album “butterfly lullabies” ini merupakan sebuah penjelmaan dari seluruh rasa-rasa manusiawi yang beliau rasakan di kehidupan sehari-hari seperti cinta, rindu dan kehilangan. Entah kenapa lewat lirik-liriknya yang lugu dan poetic, rasa-rasa itu bisa sampai ke diri aku. Entah kenapa, mungkin karena aku juga sering kali meromantisasi semua perasaan lalu aku tuangkan ke dalam tulisan-tulisan juga. Dari lirik-lirik yang Ghazi buat di album ini aku bisa melihat sekelebat diri aku di dalamnya (CEILAH). Sesuai dengan yang dikatakan pembuatnya, album ini juga dipengaruhi oleh aliran emo yang mungkin bisa aku kerucutkan jadi aliran hopeless romantic ya hahaha.

Biasanya jika aku sedang merasakan sesuatu aku sebisa mungkin merasakan perasaannya terlebih dahulu dengan hikmat dan benar-benar menjabarkan perasaan-perasaan tersebut dengan detail lalu aku jelaskan menggunakan metafora-metafora paling mirip yang bisa aku bayangkan dengan perasaaan itu. Rasanya Ghazi di album ini juga melakukan hal sama seperti yang aku lakukan sehingga melahirkan lagu-lagu yang terasa dekat. Seakan Ghazi sedang curhat gitu lewat lagu-lagunya dan aku benar-benar bisa relate dengan apa yang dilakukannya.

Pembawaan lagu-lagu yang terdengar organik dan ala-ala bedroom pop juga mungkin menjadi alasan kenapa lagu ini terasa personal dan membuat aku seakan sedang membaca buku tentang kehidupan Ghazi. Di lagu “my dark massive arteries” dalam lirik “I’m spinning. I’m getting dizzy. I’m sorry if I’m different. I love you but I don’t really know who I am” seakan jadi statement bahwa di umuran yang kata orang “quarter life crisis” ini seringkali kita juga tidak benar-benar tau siapa diri kita. Masih mencari dan mencari, berputar, balik arah, lanjut ke perempatan depan, jalan buntu, fly over, semua jalan dicoba dilalui sampai dizzy dan blurry dan membuat kita bertanya-tanya “sebenarnya mau apa kita di dunia ini?”

Permainan gitar Ghazi dan pembawaan vokalnya sebenarnya mengingatkanku pada seorang musisi yang memiliki nama panggung Whatever, Dad. Mereka sama-sama melantunkan lagu-lagu yang terasa personal dan walau lagu-lagu tersebut datang dari kehidupan personal masing-masing musisi sehingga bisa dibilang “subjektif”, in certain way aku tetap bisa merasa dekat dengan karya-karya mereka.

Menyampaikan perasaan lewat medium-medium artistik memang terbukti dapat menjadi sebuah metode katarsis yang dapat mendatangkan banyak manfaat. Selain sebagai media penyaluran emosi, metode ini juga pastinya akan menghasilkan karya-karya yang mungkin dapat dinikmati oleh khalayak banyak. Jika beruntung, nantinya karya tersebut akan berakhir di hati orang-orang yang merasa relate dengannya, bahkan bisa menjadi inspirasi bagi mereka untuk menciptakan suatu hal baru. Selamanya umat manusia akan selalu terinspirasi dan menginspirasi. Rantai penciptaan yang indah.

Daripada berlama-lama lagi mending langsung dengar saja album kedua dari Painted House Parties yang sudah rilis di kanal musik digital kesukaan kalian!