Memasang bendera merah putih di depan rumah adalah salah satu rutinitas saya menjelang awal bulan Agustus. Rutinitas ini saya kerjakan dari sejak memakai bendera merah putih sebagai seragam hingga saat ini, atau lebih tepatnya menanggalkan seluruh bendera merah putih baik lahir maupun batin.
Saya memasang bendera asal-asalan, berulang kali dimarahi nenek karena kelewatan memasang bendera setengah tiang menjelang tujuh belas Agustus. Saya tak berniat untuk berduka, sih. Apalagi dengan alasan merindukan kebangkitan Soeharto dan Rezim Orde Baru yang menyebalkan. Haduh, sumpah, amit-amit jabang Koramil. Namun, satu hal yang saya sadari; saya tak menyadari lagi alasan magis bagi diri saya untuk memasang bendera dengan baik dan benar.
Jika saya memasang bendera asal-asalan, maka tetangga saya melakukan sebaliknya. Umurnya 60 tahunan lebih, seorang pensiunan Kepala Dinas yang kini tengah keranjingan untuk mendaftarkan diri agar namanya tercantum dalam kertas Pemilu. Ia melakukannya penuh khidmat, dia menatap merah putih sebentar lalu mengamati pembantunya yang kesusahan mengatur posisi mana yang lebih tepat antara umbul-umbul atau bendera. Dadanya dibusungkan, lalu menatap hormat dengan pandangan kosong. WTF! Sungguh pagi yang absurd, pikirku.
Seorang Indonesianis asal Cornell University, Benedict R.Og. Anderson dalam magnum-opus-nya, Imagined Communities : Reflection on The Origins and Spread of Nationalism menggambarkan nasionalisme sebagai bagian dari komunitas berbayang. Nasionalisme masuk melewati batas-batas ideologi lalu menciptakan ikatan tak kasat mata yang membuat seseorang bisa memperkenalkan dirinya dengan narasi “Saya adalah warga negara A,” tanpa melihat lebih jauh lagi identitas lain yang mungkin ia miliki seperti “Si B adalah seorang borjuis kecil yang menafkahi kehidupan keluarganya dengan cara berdagang dan blablabla” ataupun tektek bengek lainnya.
Ikatan tersebut lahir begitu kuat. Dalam praktiknya, pada medio 1970-an ikatan transnasional Marxisme bisa dengan entengnya dikalahkan nasionalisme saat negara-negara Komunis Indocina melakukan perang dengan membawa panjinya masing masing. Entah itu Republik Rakyat Tiongkok, Republik Vietnam, atau konco-koncoan Uni Soviet yang lantas meninggalkan reruntuhan kejayaan Revolusi Bolshevik itu paska peristiwa robohnya Tembok Berlin yang ditasbihkan Fukuyama sebagai era “berakhirnya Sejarah” pada tahun 1989.
Menurut Anderson, nasionalisme sendiri mengakar melewati budaya di tengah-tengah masyarakat kontemporer. Meski demikian, terdapat perbedaan signifikan jika kita membahas pola persebaran nasionalisme di abad 18 dan abad 20 saat buku tersebut ditulis. Jika sebelumnya nasionalisme -terutama ekspansi yang digaungkan pelaut Spanyol- tersebar melalui perkawinan antarbangsa Hispanik dengan Suku Indian dan penyakralan pada bahasa-bahasa Agama, nasionalisme pada abad 20 tersebar dengan cara lain yakni melakukan kawin silang dengan kaum borjuis lalu beranak pinak dengan tebaran media massa. Hal inilah yang kelak disebut Anderson sebagai print-capitalism yang disitir Richard Linklater dalam film rotoskopik-nya yang berjudul Waking Life (1999).
Singkatnya, terdapat kelas sosial yang melebur dalam konteks nasionalisme. Berbeda dengan Marxisme atau Anarkisme yang mengutamakan identitas berdasarkan pada kondisi kelas yang terdapat di masyarakat, nasionalisme menampilkan dirinya sebagai kondisi magis yang mempersatukan setiap orang dari berbagai golongan untuk menciptakan sebuah realitas menyakitkan bernama ‘negara’.
Dengan iming-iming nasionalisme, kita dihadapkan pada situasi-situasi menyebalkan di mana para teknokrat yang bercokol di BAPPENAS ataupun instansi birokrasi lainnya mengamini pengisapan dari pola ekonomi Kaynesian yang menyebalkan; hitungan instan sebagai tolak ukur kesejahteraan warga negara, ataupun rancangan APBN yang kita tak tahu arah juntrungannya ke mana. Namun, satu hal yang kita tahu, kita tak diuntungkan sama sekali di sana. Kita tak bisa apa-apa selain menari tanpa kebebasan, atau lebih tepatnya Bad Faith jika dikaitkan dengan term Eksistensialisme Sartrean. Hahahahasyu!
Akhirul kalam, sebagai seorang manusia yang bosan dengan konsep nasionalisme, saya menawarkan mixtape terbaik kepada seluruh warganet yang budiman dan pembaca setia gilanada.com. Mixtape ini saya susun dari kumpulan lagu-lagu yang tersedia di harddisk, atau sekadar mejeng di internet. Selamat menikmati!
- Godspeed You! Black Emperor – “Dead Flag Blues : Intro” (F#A#=∞ , Constellation Records)
Sulit rasanya untuk membicarakan -ataupun mengkritik- nasionalisme tanpa sedikit pun tidak menyitir grup post-rock apokaliptik asal Kanada ini. Lagu ini merupakan intro dari trek pertama dalam debut album sekaligus mahakarya GY!BE; F#A#=∞ ( baca: F-sharp A-sharp Infinity, red) . Merupakan bagian empat menit pertama dari keseluruhan enam belas menit sekuen “Dead Flag Blues”, bagian intro ini menawarkan narasi kosong nasionalisme yang dibacakan secara muram oleh sang gitaris Efrim Menuck dalam potongan film yang tak dirampungkannya berjudul Incomplete Movie from Jail.
Lirik yang menohok serta gaya bicara yang penuh dengan keputusasaan seolah mengingatkan kita akan pembacaan kematian yang ditawarkan oleh Cioran. Nasionalisme bagi Menuck seolah tak menawarkan apa-apa di tengah kekacauan peradaban yang justru diakibatkan oleh negara itu sendiri. Kasus-kasus perlawanan rakyat semacam Tamansari dan Dago Elos ataupun pelanggaran HAM dari mulai terbunuhnya Udin, Munir, ataupun menghilangnya Wiji Thukul tak lagi jadi hal krusial bagi negara. Negara adalah candu, keabsenannya adalah hal yang biasa bagi para nasionalis. Mengutip Menuck dalam lagu ini; “The government is corrupt and we’re on so many drugs/ with the radio and the curtains drawn”
- Crass – Upright Citizen (Station of The Crass, Crass Records)
Dirilis medio 1979, album kedua milik kolektif asal London yang dimotori oleh geng dari Steve Ignorant ini berhasil menarik perhatian golongan kiri di Inggris terutama kelompok anarko-sindikal dan Partai Buruh Sosialis Inggris yang saat itu dihantui oleh kemunculan gerakan neo-Nazi dari kalangan British Movement (BM) pada tahun 1979. Meski perilisan album ini disokong oleh kaum kiri, Crass secara apik menawarkan kritik tegas pada kaum kiri itu sendiri -dari perspektif seorang Pasifis tentunya.
Negara lahir dalam bentuk paket nilai abstrak dan dijunjung tinggi oleh penganutnya. Hal ini yang kelak melahirkan fenomena kekerasan atas nama negara dan ironisnya lagi, mereka meyelusup ke alam bawah sadar rakyatnya. Negara berubah bentuk menjadi sepaket moral, dan melakukan kawin silang dengan teks-teks suci baik itu dari naskah agama maupun kebudayaan lokal, maka jangan salahkan apapun jika saat ini kita seolah acuh terhadap kekerasan yang dialami oleh kelompok yang kita anggap Liyan. Entah itu PKI, Syi’ah, Ahmadiyah, Sekte Lia Eden hingga belakangan kelompok kepercayaan Kerajaan Ubur-Ubur.
Jangan juga salahkan apapun juga apabila kita justru mengamini kekerasan yang terjadi pada minoritas lain yang sedang berjuang mempertahankan kebebasannya, dari petani lahan pantai di Kulon Progo, petani lereng di Takokak, Cianjur, hingga kriminalisasi petani di Sukoharjo. Toh, bagi para nasionalis dadakan, mereka hanya menjadi batu penghalang menuju pembangunan negara teknokratik, bukan? 100 poin buat argumentasi Ignorant di lagu ini; “I’ll show you the blood, but you’ll still point the gun,” atas nama negara, kaum ‘subversif’ bagaimanapun bentuknya, harus mampus!
- Joy Division – Day of The Lords (Unknown Pleasures,Strawberry Records)
Jujur saja, ‘Day of The Lords’ merupakan salah satu nomor favorit saya di Unknown Pleasures. Rasanya satu planet bumi sudah tahu bagaimana mencekamnya Unknown Pleasures yang dibumbui oleh mitos-mitos tentang kematian Ian Curtis. Untuk ukuran kelompok darkwave, bumbu-bumbu kematian rasanya bukan lagi hal yang asing. Matinya Klaus Nomi, bubarnya Gang of Four, dan banyak lainnya masih menjadi misteri aneh hingga saat ini.
Jika membicarakan argumen Anderson soal print capitalism, ‘Days of The Lords’ merupakan analogi yang cukup tepat. Menurut Anderson, manusia menciptakan narasi imajinasi lewat foto-foto yang telah dicetak dalam skala massal. Hal inilah yang kelak menjadi jembatan antara borjuis dan proletar dalam skema persebaran nasionalisme. Curtis menggambarkan lanskap tersebut dengan muram; sebuah cetak foto kelabu yang terdapat dalam frasa pertama; “This is the room, the start of it all / No portrait so fine, only sheets on the wall”
Jika dimaknai lebih jauh, mungkin kita akan menemukan ketidak sinkronan rakyat dengan negaranya sendiri. ‘Days of The Lords’ merupakan kritik terhadap nasionalisme yang cukup tajam. Menyikapi krisis ekonomi yang melanda Inggris medio 1979, lagu ini merupakan manifesto dari dystopia negara yang gagal memenuhi kebutuhan rakyatnya. Ujung-ujungnya PDB lagi, toh? Mengutip Curtis dalam lagu ini sesungguhnya hanya ada satu kalimat saja; “There’s no room for the weak.”
- Melancholic B1tch – Selat, Malaka (NKKBS Bagian Pertama, Trauma Irama Records)
Tak dapat disangkal bahwa NKKBS Bagian Pertama merupakan salah satu kritik terhadap nasionalisme paling joss yang dirilis tahun kemarin. Racikan lirik Ugoran Prasad, serta komposisi musik yang apik dari Yennu Arienda dan Yosef Herman Susilo seolah mengajak kita pada lanskap Orde Baru yang merupakan kawin silang antara nasionalisme dan neoliberalisme yang menjemukan. Album ini rasanya seperti ensiklopedi yang membahas buku-buku yang dilarang saat periode Orba. Dari State Ibuism : The Social Construction of Womanhood in Indonesia karya Julia Suryakusuma yang katanya tersebar kandestin via milis, Kekerasan Budaya Pasca 1965 karya Wijaya Herlambang, ataupun Kuasa Kata milik Benedict Anderson yang argumennya kita bahas di prolog tadi.
Di antara berpuluh buku yang dijadikan bahan rujukan si sundal cengeng ini, satu di antaranya yang menarik perhatian saya; Dari Penjara ke Penjara, biografi yang ditulis Tan Malaka, tokoh yang dinamai majalah TEMPO sebagai ‘Bapak Republik yang Dilupakan’.
Dalam lagu ini, Melbi menggambarkan Tan Malaka sebagai korban perselingkuhan dari negara itu sendiri. Tan jelas adalah seorang nasionalis sejati meski ironisnya, ia bahkan tak diakui negara sama sekali. Sejak era pergerakan di mana ia dikeluarkan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1926, ia mengarungi Asia tanpa kewarganegaraan sama sekali. Sebuah kondisi yang mengharuskannya membuang semua buku yang ia rujuk dalam magnum-opus terbesarnya. Pada akhirnya, Madilog lahir seperti tuannya; kehilangan jejak Daftar Pustaka, atau mungkin lebih tepatnya lagi; hilang dari Daftar Pustaka.
Menuju sebuah negara republik, Melbi menggambarkan cinta Tan Malaka pada Indonesia seperti judi. Nasionalisme jelas adalah sebuah pertaruhan yang bikin galau, kita bisa saja disayang atau bahkan dibenci oleh kaum nasionalis dengan atau tanpa alasan historis yang jelas. Sesungguhnya benar kata Melbi, “cinta lahir dari judi dan menguat karena lampu mati”.
- Pangalo! – Pancasila (Hurje : Maka Merapallah Zarathustra, Maratonmikrofon)
Lahir dari lanskap pegunungan pinggiran Danau Toba, Pangalo! Mungkin lebih pantas dikata sebagai Zarathustra atau lebih tepatnya Nietzsche yang baru muncul dari Turin. Jika semua orang dikata tunduk pada berhala, maka Pangalo! adalah Ibrahim yang muncul sambil memegang kapak bernama Hurje! yang dirilis akhir 2017 kemarin.
Di antara jajaran punggawa Maratonmikrofon yang sekarang ce-es-an dengan Grimloc Records milik Morgue Vanguard a.k.a Ucok Homicide, kritik terhadap nasionalisme mungkin bukan lagi yang tak biasa. Kita tentu saja tak bisa begitu saja pura-pura buta terhadap nomor menarik dari Maratonmikrofon semacam “Si Miskin Omdonesia” milik Joe Million, ataupun “Tak Ada Garuda di Dadaku” dari si empunya sendiri; Bars of Death”.
“Pancasila” sengaja saya masukkan dalam mixtape sebagai salah satu nomor favorit saya dalam Hurje! Dalam lagu ini, Pangalo! mendekonstruksi ulang makna Pancasila dengan menjejalkan realita ironis yang tentunya sejalan dengan usaha negara memperkaya dirinya sendiri. Pangalo! mempermainkan sila yang dibuat tiga hari tiga malam ini dengan keadaan subjektif Indonesia saat ini; penggusuran di mana-mana, pelanggaran HAM yang tak pernah tertuntaskan, atau sistem pendidikan yang justru menjadikan stok budak bagi korporasi dengan neoliberalisasi pendidikan ala IMF dan PTN-BH.
Lagu ini layaknya Pancasila, terbagi dalam lima bagian yang diterjemahkan secara mendalam. Pemilihan rima dan metafor yang apik rasanya menjadi daya tarik dari lagu ini. Simak saja bagian ketika ia mengkritik sila keempat -Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan- dengan tempelengan “Keputusan ditentukan oleh perwakilan / karena hikmat kebijaksaan hanya milik para dewan / karena rakyat seperti hewan / kita butuh peternakan / sebab kebebasan / awal dari kejahatan”
- Joe Million – Si Miskin Omdonesia (V U L G A R, Maratonmikrofon)
Satu lagi bukan dari Mayora, karena sesungguhnya Mayora bangsat. Lagu kali ini masih dari skuad Maratonmikrofon yang namanya sempat disitir di bagian atas tadi. Joe Million yang berasal dari Jayapura, dalam lagu ini justru mempertanyakan kembali konsep nasionalisme warga Indonesia yang dalam praktiknya justru bergerak menjadi banal.
Paska Pilpres 2014, orang Indonesia seolah terbelah menjadi dua kelompok yang saling jotos. Entah itu satu kubu yang dikenal sebagai cebong, ataupun kubu lain yang dikenal sebagai onta bin kampret. Dalam konteks ini, agama dijadikan sebagai alat politik untuk menciptakan -meminjam term dari Anderson- sub-nasionalisme baru dalam rangka membangun jejaring massa yang berskala besar. Persekusi pun mulai dilakukan, entah itu dari kelompok cebong yang menyatakan dirinya toleran (tapi ternyata bersikap ‘intoleran’ terhadap kelompok intoleran dari kubu kampret) ataupun kubu kampret yang justru dengan tegasnya menyatakan ‘kafir’ kepada setiap orang yang tak berada di kubu mereka, atau bahkan berada di luar kedua lingkaran tersebut semisal Syiah, Ahmadiyah, dll.
Ironisnya, isu pemilihan elektoral yang dibungkus dengan terigu bernamakan agama ini terus digoreng sehingga lahirlah bala-bala gosong bernama nasionalisme. Setiap orang seolah meluangkan banyak waktu mereka untuk mengikuti perkembangan status capres satu dan capres lainnya sehingga melupakan peliknya hidup dan potensi yang mereka miliki. Parahnya lagi, hal ini seolah jadi legitimasi buat mereka untuk ikut menindas kaum marjinal lainnya. Joe memanifestasikan kondisi tersebut dalam frasa yang ciamik; “Apa ada Tuhan buat kau tak butuh papan? / Apa ada Tuhan buat kau tak butuh sandang? / Apa ada Tuhan buat kau tak butuh pangan? / Ku tak butuh Tuhan jika buatku membunuh kawan.”
Frasa tersebut seolah menyiratkan bahwa nasionalisme sesungguhnya mesin pembunuh bagi rakyat. Dari judul saja, Joe mengganti kata ‘Indonesia’ menjadi ‘Omdonesia’ yang notabene merupakan singkatan dari ‘Omong Doang’. Percuma Anda berkoar-koar soal NKRI harga mati jika Anda tak peduli rakyat yang ditindas oleh negara, korporasi, dan aparatusnya. Dari GAM hingga OPM, dari Rembang hingga Makassar, toh mereka semua tak makan bendera untuk sarapan di pagi hari :p
- Filastine & Nova – Perbatasan (Drapetomania, Post World Industries)
Paska bubarnya kelompok marching band Anarkis asal Seattle, Infernal Noise Brigade, Grey Filastine lantas melanjutkan perjalanannya mengelilingi dunia. Filastine mengeksplorasi suara hampir dari berbagai tempat di belahan planet bumi, tak terkecuali Indonesia, sebuah negara kecil yang dikatai Rendra sebagai tempat buang hajat para cukong-cukong konglomerat.
Dalam album ini, Filastine dengan jelas menunjukkan pandangannya tentang dystopia negara yang kosong. Hancur lebur, sehingga tak menyisakan tempat lagi bagi rakyatnya untuk sembunyi dari kenyataan yang pahit; ditindas oleh negaranya sendiri, atau ditindas saudara-saudaranya yang berpihak pada negara. Filastine secara apik mengejewantahkan pemikirannya ini lewat instrumen dari tong-tong sampah, botol gelas bekas, yang digabung ke dalam permainan synthisizer dengan balutan suara violin yang menyayat telinga sehingga menghasilkan sebuah harmoni dari post-world atau dunia yang telah hancur.
Selain instrumen yang memikat, lirik dari Nova Ruth juga menjadi daya tarik tersendiri pada lagu ini. Nova secara gamblang mengobrak-abrik realitas dan memotretnya dengan penuh lanskap kesedihan. Dalam liriknya, kita akan dipertemukan dengan suasana kelam di mana kita tak akan pernah bisa bertemu jalan keluar. Tak ada siapapun yang bisa selamat dari sistem yang telah kiamat. Tak ada siapapun yang bisa membantu siapapun, tak ada siapapun yang tahu kebenaran, baik itu negara ataupun Mario Teguh. Kebenaran hanya kita dapatkan lewat diri sendiri, bukan? Meminjam lirik dalam lagu ini; “Salah benar tak tahu siapa yang salah atau benar/ salah atau benar /Kau dan aku lari dari perang-kap harapan yang tak pasti.”
- Father John Misty – We’re Only People (And There’s not Much Anyone Can Do About That) (God’s Favourite Customer, Sub Pop)
Dirilis akhir bulan lalu secara gratisan streaming, God’s Favourite Customer rasanya langsung memikat hati saya terhadap Father John Misty atau yang biasa kita kenal sebagai Josh Tillman (Fleet Foxes, Poor Moon). Merupakan album keempat dengan moniker Father John Misty, Tillman seolah memberikan pada kita bayangan gelap dan pandangan pesimis atas realitas yang terkadang membuat kita memaki diri sendiri.
Dalam “We’re Only People”, Tillman menawarkan sisi gelap Dylan setelah sebelumnya dieksplorasi dalam “God’s Favourite Customer” lengkap dengan video klip sinematik yang mungkin akna mengingatkan kita pada salah satu mahakarya sutradara asal Brazil Alejandro Innaritu yakni Birdman yang dirilis 2014 lalu. Pada lagu ini, Tillman seolah menjelaskan ketakberdayaan manusia yang tunduk pada korporasi. Baik itu dalam skala kecil ataupun besar-besaran (termasuk negara tentunya). Tak ada yang bisa dilakukan kecuali berjalan sendiri, mengasah kesadaran dan potensi diri. Teruntuk yang masih ribut soal ‘Presiden’ dan ‘Ganti Presiden’, percayalah kotak suara tak akan memberikan sumbangsih apapun terhadap masa depanmu. Hatur nuhun 🙁
- Bibir Merah Berdarah – Sajak Sebatang Lisong (Various Artist : Megamix Militia Vol 2 : A Tribute to Various Artists, YesNoWave Record)
Rasanya nomor ini akan menjadi nomor terakhir dalam mixtape kali ini. Album ini saya temui ketika saya masih SMA atau mungkin lebih tepatnya kira-kira lima tahun yang lalu di sebuah web netlabel yang dimotori oleh Wok The Rock dan Rully Shabara Herman (Senyawa, Zoo). Album ini berisi lagu-lagu yang dianggap bootleg, namun dikemas secara artistik. Selain dari “Sajak Sebatang Lisong” karya Rendra yang di-‘anti-musikalisasi’ oleh Bibir Merah Berdarah, terdapat juga nomor-nomor jadul bootleg lain semisal Titiek Sandhora lewat lagu “Mimpi Diraju” (bootleg dari ‘Je t’aime…moi non plus’ karya Jane Birkin dan Serge Gainsbourgh), dan “Hati yang Luka” milik Johan Untung (bootleg dari ‘I Don’t Wan’t to Talk About It’ karya Rod Stewart).
Lagu ini sendiri saya pilih sebagai penutup karena noise enak -elah enggak, deh. Saya menyukai konsep lagu ini yang secara gamblang mengejewantahkan kecemasan Rendra yang diambil dari potongan film Yang Muda Yang Bercinta karya Sjumandjaja di tahun 1977. Dalam sajaknya, Rendra seolah menggambarkan ketakutan yang sangat besar terhadap modernitas dan kecenderungan kebijakan pemerintah yang semakin teknoratik. Alih-alih tak ada Lekra, bangsa Indonesia justru semakin lama semakin hilang di tengah arus kompetisi ekonomi negara-negara neoliberal. Bibir Merah Berdarah memanifestasikan ketakutan ini lewat suara-suara chiptunes 8bit yang menggelegar, bunyi nintendo yang digasak tak karuan, dan di akhir lagu, semua berujung pada keheningan. Tak ada lagi Rendra, tak ada lagi mimpi- mimpi Indonesia. Selamat merayakan hari kalian, semoga bisa menjalani takdir dengan sepenuhnya 🙂