Poster Ichiko Aoba Saison Des Fleurs Tour 2023 (Dok. Pribadi)

Malam itu kala ku menonton video Ichiko Aoba yang bernyanyi diiringi string-string penyayat hati, ku berbisik pada semesta. Maukah semesta memberiku kesempatan menonton beliau secara langsung? Penuh harap ku terbangkan wishlist-ku sejak 2021 itu. Tak pernah kusangka semesta akan mendengar dan mengabulkan harapanku tersebut. Ichiko Aoba, seorang musisi folk soloist berdarah Jepang yang mengawali karirnya di tahun 2010, untuk pertama kalinya diundang ke Indonesia berkat kerja sama antara Noisewhore dan Junks.

2 Maret 2023. Kuarungi 158 kilometer untuk menemuimu. KAI Cikuray, KRL Pasar Senen-Kebayoran, sampai aplikasi ojek online. Kulakukan demi mendengar langsung rapalan-rapalan tentang semestamu yang lugu dan menenangkan.

Akhirnya, 18.30 ku sampai di bahu jalan depan Rossi Musik Fatmawati. Beberapa orang sudah memenuhi spot-spot enak untuk sebat terlebih dahulu atau menunggu teman. Aku sedikit kebingungan harus masuk ke mana. Di depanku hanya bangunan tua dan gelap dan tidak terlalu ramai. Aku ikuti saja seseorang yang terlihat tau arah masuk. “Wow! Tempatnya underground sekali,” mengutip kata-kata teman baruku yang sudah barang tentu aku setuju dengannya. Tibalah aku di meja penukaran tiket. Memasang tiket di tangan kiri lalu pergi ke lantai 4 sebagaimana si abangnya menyuruh begitu. Mulai terasa aura abang-abang/teteh-teteh kalcer-nya, kaos grunge core band andalan, lolita, hingga rambut berwarna terang. Ditambah dengan obrolan kawan-kawan media, dengan mixed English-Indonesian language, serta sepatu Docmart mengkilap. Hal ini sepertinya wajar-wajar saja, mengetahui pendengar Ichiko Aoba yang memang segmented. Sebelum pagelaran dimulai, aku pergi ke merch station di ruangan seberang venue. Membeli kaos tour 2022 yang memang sedang diskon. Agar nanti saat dipakai, seseorang bisa bertanya padaku “Teh denger Ichiko Aoba juga?” Hahaha.

Setelah mengantri lama dan mendapatkan kaosnya, aku masuk ke venue dan duduk di kiri paling depan. Lampu utama mulai dipadamkan, lampu sorotan mulai dimainkan. Naiklah dua orang membawa gitar ke atas panggung, satu mengenakan beanie, satu lagi menggunakan kaos hijau Butaneko Muchos Libre. Betul, pembuka acara malam ini adalah Bin Idris, sebuah solo project dari frontman SigmunHaikal Azizi, ditemani oleh Rajin Sihombing sebagai additional guitar. Haikal membuka pagelaran dengan bacaan basmalah, menggema dan seakan memberkahi malam itu. Petikan-petikan senar gitar mulai dimainkan, lihai dan membekukan pandanganku. Masuklah vokal Haikal dengan reverb yang pasti dan mengawang-ngawang. Kata-kata puitis yang dirapalkan seakan mantra, menceritakan segala sudut kehidupan, pembelajaran. Seperti dihembuskannya angin spiritual pada semesta yang tenang, bersahaja, dan penuh kesederhanaan serta sesekali cuitan burung kenari terdengar. Daya magis Haikal pun dapat digambarkan seperti suitan bapak-bapak ditemani secangkir kopi hitam dan secarik koran yang tertiup angin sepoy-sepoy. Semuanya seakan membawaku pada hari Sabtu tahun 2014 yang lambat dan punya wanginya tersendiri. Seakan membawaku sampai ke langit ketujuh (sedikit alay tapi benar adanya). Aku sudah terlanjur jatuh hati pada malam itu. Walau memang beberapa kali feedback mendengung terdengar, sedikit mengganggu tapi tak apalah toh semua tidak ada yang sempurna.

Haikal Azizi, Dok. Pribadi

Haikal menutup sesi dengan “Rebahan”, riuh tepuk tangan mengisi ruangan. Aku merapal hamdalah, merasa bersyukur bisa diberi kesempatan menonton beliau secara langsung. Tidak sabar bertemu teteh Ichiko, tentu sekejap lagi setelah ini. Desas-desus mulai terdengar, Ichiko Aoba sudah berdiri di samping kiri dengan rambut sedagu dan kimono rupawan, gemas. Sesaat setelah itu beliau menaiki panggung. Penonton sorak sorai. Sudah siap gitar dan piano andalannya. Beliau menyapa “Apa kabar?” penonton tertawa gemas menjawab “Baik.” Rasanya seperti tidak nyata, dapat memandang Ichiko Aoba dengan mata kepalaku sendiri. Beliau membuka malam yang magis itu dengan “Kokoro no Sekai”, lantunannya seakan mengarungi jalur-jalur nadi di tubuhku. Diikuti dengan “Horo” dan “Easter Lily”, kupastikan alunan tersebut dapat membisik lembut jiwa tiap orang yang mendengarnya. Permainan gitar “Sagu Palm’s Song” juga tentu tidak bisa dihiraukan. Rasanya seperti sedang berjalan membelah hutan ajaib yang menuntunmu ke pantai lepas. Apalagi ketika “Kikaijikake no Ucyuu” dimainkan, kita serasa dibawa mengalun dan pelan untuk kemudian dihempas menuju ketukan yang cepat dan terburu. Mahir sekali jari-jari itu bergerak menelusuri leher gitar. “Dawn in the Adan” lain lagi, ia seperti menyenandungkan hymne kehidupan bawah laut, yang tak secara langsung menampakkan sinar matahari yang menyingsing di ufuk timur. Lampu-lampu sorot berhasil membantu menyampaikan mood tersebut. Ingin rasanya ku membekukan waktu, selamanya berada di momen itu. Sampailah kita pada lagu yang cukup banyak digunakan netizen sebagai sound di Tiktok, “Asleep Among Endives”. Setelah lama kupendam agar tidak ikut sing along, akhirnya di lagu tersebut aku ikut menyenandungkan liriknya (dengan volume kecil karena masih malu-malu, yang lain tidak banyak yang bernyanyi). Aku tau aku akan menangis ketika malam itu tiba, dan memang betul saja mataku sudah berkaca-kaca. Sebelum mengakhiri malam, ternyata Ichiko Aoba masih memiliki satu buah lagu. “Bouquet”, lagu kesukaanku. Di lagu tersebut mulai banyak yang ikut bersenandung. Aku dengan girang ikut bernyanyi, Ichiko Aoba seakan dengan senang hati menerima senandungan penonton. Dengan improvisasi-improvisasi ciamik di penghujung lagu, aku tau malam itu akan menjadi malam yang kukenang sepanjang waktu.

Dok. Pribadi

Senyuman Ichiko Aoba menutup manis lagu “Bouquet”. Tepuk tangan dan sorak penonton menjadi pertanda betapa indahnya permainan beliau. Tibalah saatnya untuk berpisah. Beliau mengucap terima kasih beberapa kali, lalu turun dari panggung. Alat-alat musik mulai dibereskan. Aku sedikit tidak terima dengan berakhirnya malam tersebut. Namun aku tetap bersyukur, salah satu bucket list hidupku tercapai. Sayangnya aku tidak kebagian meet and greet dengan beliau. Dengan bodohnya aku malah keluar venue duluan. Tapi ya sudahlah, setidaknya aku mendapatkan 2 teman baru, yang kemudian mengajakku makan di sebuah Japanese Cuisine versi kaki lima. Cukup lucu sih, serasa menjadi wibu sesekali hahaha. Tak kusadari hidanganku dibayarkan oleh salah satu temanku yaitu Mira (nama samaran), kuminta nomor rekeningnya tapi ia terus menolak. Terima kasih Mira, aku abadikan namamu di sini ya sebagai balasannya hahaha.

Semesta terima kasih sudah mengabulkan permintaanku. Terlebih pada Noisewhore dan Junks. Terima kasih sudah bantu mewujudkan bucket list-ku. Terima kasih juga kepada Ichiko Aoba telah melahirkan alunan-alunan magis yang senantiasa menemani kehidupan sederhanaku.