“When a man is born, he has the commanding part of his soul like a sheet of paper ready for writing upon.”

Polos. Adalah kata pertama yang bisa saya dapatkan saat mendengar lelagu dari kuartet asal Yogyakarta yang bernama ‘Sungai’ ini. Sungai, bagi saya sendiri merupakan sumber dari segala kehidupan, ia mengairi dan menghidupi lalu bersatu dengan manusia sehingga tak jarang banyak yang menganggap bahwa kehidupan berasal dari sungai termasuk beragam kepercayaan yang ada di Pulau Jawa ini. Namun, Sungai kali ini tak hanya berupa bentukan air semata, Sungai ini mencoba menyuguhkan berbagai warna yang dikemas dalam satu identitas yang dinamakan Sungai itu sendiri.

Sungai kali ini memainkan musik pop akustik yang memasangkan paduan musik antara pria dan wanita. Saat mendengar musik ini, tentu saja kita tak dapat melepaskannya dari band- band yang sudah lebih dahulu muncul seperti Banda Neira, Oppy Andaresta, dan musisi Indonesia lainnya. Namun, dalam lagu yang bertajuk “Merah Muda” ini, Sungai memberikan hal yang berbeda. “Merah Muda” bagi beberapa orang mungkin terlihat cengeng, atau setidaknya menye- menye. Itulah stereotipe yang pertama kita kenal dengan merah muda.

Sungai, membantu kita melihat perspektif “Merah Muda” dari sudut pandang yang berbeda. Saya tak bisa melepaskan teori tabula rasa yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas dan lagu ini begitu berhasil mengimplementasikan teori tersebut ke dalam satu frasa yang unik. “Merah Muda” sebuah sensasi yang akan pertama kita temui saat pertama kali menemukan sesuatu. Ya, kita kertas putih yang kemudian dihadapkan pada sesuatu yang kontras, dan Sungai berhasil membawa kita pada sikon tabula rasa.

Dari segi musik, meski terbilang biasa saja. Namun, Sungai memberikan kontradiksi baru pada single yang dibagikan secara gratis ini. Grup yang digawangi oleh kuartet berisi Anggito Rahman (Anggiluka), Dimas Budi Satya (Zoo), Mawar Rengga, dan Irine Winta ini menjadikan “Merah Muda” yang notabene merupakan lagu ciptaan dari Anggito Rahman di band lamanya yang bernama Anggiluka menjadi sebuah lagu akustik yang begitu tenang dan mengalir tapi menghentak- hentak bak sungai beriak.

Bagi penikmat musik Zoo, tentu saja kita dapat mengenali gebukan drum Dimas yang diaplikasikan ke dalam cajoon yang seolah mengantarkan kita pada sebuah lanskap ‘sungai’ yang mengajak kita untuk berada di dalamnya. Untuk lirik pun, Anggi juga mengimplementasikan tabularasa tadi ke dalam beberapa frasa :

Ketika ingin mengerti

Ketika ingin melangkah

penuh dengan warna

berharap cepat merekah

berharap cepat merjaah

biar kau tak punah”

Pada lirik di atas kita dapat melihat bagaimana perjalanan satu makhluk yang dipertemukan dengan sebuah harapan. Ya, harapan pertemuan dengan warna dan salah satu di antaranya yakni kita yang benar- benar seperti kertas putih, dihadapkan pada warna merah yang begitu menggelora dan menjadikannya sebagai merah muda. Dalam konteks ini, Anggi seolah membuat kita mencari definisi lain untuk merah muda itu sendiri. Yakni sebuah penggambaran atas keberanian, sebuah kesiapan mengalami tantangan baru yang dikemas dalam bentukan musik proporsional ala Sungai.

Sungai sendiri sebelumnya telah merilis sebuah single lain yang berjudul “Kelabu”, mungkin sekilas, kita akan membayangkan musik nan gelap bak musik gospel di pemakaman tetangga. Namun, Sungai membuat bayangan kita ini menjadi satu hal yang berlawanan dari pikiran kita. Sungai sendiri adalah grup yang kontradiktif, mungkin dalam urusan teknik, mereka terlihat biasa saja mengingat jumlah musisi yang memainkan musik seperti mereka di Indonesia. Namun, hal yang biasa ini justru mampu mereka mainkan dengan permainan lirik dan ambience tersendiri yang mereka gambarkan di setiap lagunya.