
Media sosial dan kawan-kawannya kembali menyambut datarnya kehidupan manusia dengan memberikan pembaharuan fitur. Menghibur, menarik, inspiratif, heboh, kocak, gokil merupakan filter manusia untuk menerima apa yang dibutuhkan dari media sosial. Sesungguhnya, riwayat pencarian kita terlalu berwarna dibandingkan keseharian kita.
Kuping kita dimanjakan dengan musik yang berkualitas karena adanya peran media sosial. Baik para musisi atau para pendengar, dapat menikmati sebuah lagu dengan kemudahan akses dan kualitas yang memadai. Bersyukurlah kepada semua Tuhan di muka bumi, Pak Jokowi, dan Mark Zuckerberg karena peran mereka dapat menjembatani para pengguna untuk mengakses informasi dengan mudah.
Negara Swedia mampu mengolah sebuah aplikasi yang mengutamakan kemudahan mengakses musik dan berkoneksi hingga penjuru bumi, aplikasi ini diberi nama Spotify. Berdasarkan fakta tersebut, kita bisa mengenal Negara Swedia sebagai pelopor aplikasi layanan streaming digital, selain dikenal sebagai tempat kelahiran mantan pemain AC Milan, Zlatan Ibrahimovic.
Aplikasi ini menawarkan hak cipta atas musik dan layanan siniarnya secara digital. Setiap harinya, Spotify dapat menyajikan jutaan rilisan lagu setiap musisi dari segala penjuru dunia. Spotify sebagai sarana layanan streaming musik dan media sosial, memiliki algoritma yang dapat membaca dan mengetahui ketertarikan atau selera kita. Maka dari itu, Spotify meraih milyaran pengguna dari seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Berdasarkan hasil data dari Katadata, total pengguna Spotify, baik yang berbayar maupun gratis, sudah mencapai 381 juta orang pada kuartal III 2021 dan mengalami kenaikan sebesar 4,4% dari kuartal sebelumnya serta tumbuh sebesar 19,06% dari kuartal yang sama di tahun 2020. Dengan angka sebesar itu, saya yakin jika jumlah pengguna aplikasi ini dikumpulkan dalam suatu daerah, maka mereka bisa membentuk negara baru dan mengalahkan jumlah penduduk Amerika Serikat dan Indonesia.
Seperti yang diyakini oleh para pemimpin negeri kita, bahwa kemajuan bangsa begitu dipengaruhi oleh peran generasi muda. Spotify dianggap sebagai instrumen muda-mudi masa kini untuk membentuk relasi. Apalagi, aplikasi ini juga mengetahui kebutuhan manusia sehingga memberikan kebebasan kepada para penggunanya untuk menciptakan playlist tersendiri.
Seperti Pakaian, “Playlist Spotify” pun Harus Colorful
“Being normal is boring,” kata-kata ini sering muncul dalam poster yang terpasang di antara poster My Chemical Romance dan Arctic Monkeys yang terletak pada pojokan dinding kamar muda-mudi masa kini.
Kata “normal” terdengar sebagai hal yang membosankan bagi semua orang. Menyukai musik Armada atau ST12 pun dianggap membosankan atau ketinggalan zaman. Namun, berbeda seperti peran media sosial, apa yang dahulu dikatakan tidak normal dan ‘gokil’ sudah menjadi lazim dan membosankan. Menurut saya, orang-orang sedang berusaha menjadi sesuatu yang berbeda dari versi dirinya.
Setiap orang berusaha menciptakan perannya sendiri untuk menarik perhatian para pengguna lainnya. Dengan melihat adanya tren, kita bisa menangkap upaya ini sebagai preferensi kepada sesama. Namun, saya rasa ketika kita mengupayakan hal yang berbeda, rasanya seperti ada gengsi, ego, dan narsisme yang dipertaruhkan.
Gengsi anak muda dipertaruhkan pada dua hal, yaitu selera musiknya dan kiblat fashion-nya. Menurut saya, untuk mengetahui kiblat sang muda-mudi masa kini dapat dilihat dari daftar playlist pada Spotify-nya dan di dalam Pinterest-nya. Pokoknya, kita bisa mengetahui gambaran kehidupan muda-mudi masa kini pada isi konten media sosialnya.
Seperti yang diutarakan dalam konten Podcast Kesel Aje, muda-mudi masa kini tidak bisa lepas dari istilah zodiak, atau kenapa sih Gemini begitu menyebalkan. Muda-mudi masa kini begitu meyakini bahwa zodiak dapat menggambarkan atau mendeskripsikan kepribadian seseorang. Apalagi, pengaruh muda-mudi dalam menciptakan tren di media sosial memberikan dampak yang begitu fantastis.
Kalau bicara soal Spotify kepada muda-mudi, pasti mereka akan membicarakan soal playlist atau podcast yang sedang didengarkan. Atau biasanya sih, mereka akan membagikan lagu atau musisi kesukaan mereka ke dalam snapgram di Instagram, baik di main account atau second account. Toh, kalau ada duit lebih, biasanya mereka akan menonton musisinya secara langsung atau membeli official merch-nya.
Sebagaimana melihat tren ini, rasanya muda-mudi juga mempertaruhkan gengsinya dalam membuat sebuah playlist berdasarkan preferensinya. Entah itu dimulai dari “Be My Mistake” oleh The 1975 hingga “Hati-Hati di Jalan” oleh Tulus. Menjadi berbeda dan colorful merupakan prinsip yang dipegang teguh oleh para muda-mudi masa kini dalam membentuk sebuah playlist. Mengapa? Berdasarkan opini saya, menjadi seseorang yang gaul tidak hanya asik saja, tetapi harus memiliki referensi musik yang berbeda dan jauh. Ya, kalo istilahnya mah “paling edgy dan anti-mainstream lah”.
Maka, kalau melihat seseorang seringkali memiliki playlist lebih dari 5 atau 10 di dalam akun Spotify-nya, pasti ia memiliki referensi musik yang luas. Kita menganggapnya sebagai individu yang memahami tren di dalam sebuah skena. Tetapi, apakah seseorang yang sering sekali membagikan referensinya soal musik di Instagram, apalagi sering membagikan playlist-nya, akan memberikan dampak yang negatif?
Perspektif Psikoanalisis Terhadap Playlist Spotify
Saya meyakini bahwa adanya korelasi antara membagikan selera musik dengan mengunggah foto di media sosial, baik dalam konteks positif maupun negatif. Namun, mayoritas dampak yang dijabarkan dalam ilmu pengetahuan berbau negatif. Sebut saja, mengalami gangguan kepribadian, seperti narsistik.
Seorang ahli psikoanalisis asal Jerman, Sigmund Freud pernah menjelaskan karakteristik dari Narsisme dalam makalahnya yang berjudul, ‘Oh Narcissism: An Introduction.’ Menurut Freud, narsisme adalah sebuah istilah yang aslinya digunakan untuk mendeskripsikan suatu penyimpangan seksual di mana subjek jatuh cinta kepada diri sendiri alih-alih kepada orang lain. Dengan kata lain, semua orang mengarahkan libido menuju diri sendiri (ego-libido) maupun menuju orang lain (objek-libido).

Freud mendalilkan adanya tahap narsistik dalam perkembangan emosional, atau narsisme primer, yang mendahului pengarahan libido dalam objek di luar sang diri. Dia mendeskripsikan tahapan ini sebagai suatu tahapan dimana insting-insting seksual menemukan kepuasan.
Melihat pandangan Freud atas fenomena ini, konsep cinta diri bukanlah berbicara soal aspek fisik, melainkan mengagung-agungkan selera secara berlebihan. Hal ini dapat kita temui secara langsung, baik di media sosial maupun di kehidupan nyata. Biasanya mereka dikenal sebagai pribadi yang angkuh dan tidak akan mendengarkan opini kita, atau selera kita dianggap ‘sampah’. Dalam konteks ini, mereka sedang melakukan penggiringan opini.
Narsisme dalam penggiringan opini sebelumnya pernah terjadi di tahun 70-an, jauh sebelum perkembangan jurnalisme musik dan kehadiran aplikasi Spotify. Aktuil merupakan salah satu media yang fenomenal dalam sejarah musik Indonesia. Didirikan oleh Denny Sabri, Aktuil mampu menggiring pembacanya untuk menyukai musik rock barat, seperti The Rollies atau The Peels (Mulyadi, 2009).
Remy Sylado menyebut bahwa semua awak redaksi Aktuil sebagai “propagandis rock barat”. Majalah ini pernah merendahkan lagu-lagu Koes Ploes meski band itu sangat digemari dan laku di pasaran (Mulyadi, 2009). Bahkan, Aktuil tidak segan-segan menyebut musik pop ‘cengeng’ dengan sebutan “Kue Pancongan”, “Kacang Goreng”, atau “Kuacian”. Di dalam perdebatan “Rock VS Dangdut” yang diberi tempat oleh Aktuil, Benny Soebardja (The Giant Step) menganggap musik dangdut sebagai “musik tai anjing”.
Dapat dibilang, media ini telah memopulerkan beberapa istilah yang menjadi populer hingga masa kini. Istilah Dangdut mulai dipopulerkan oleh redaktur Aktuil, Billy Silabumi, untuk menyebut (atau mengejek) musik Melayu yang dianggapnya ‘kacangan’. Selain itu, istilah “Blantika” adalah istilah untuk musik dagang, musik komersial, atau musik yang diperdagangkan. Berasal dari bahasa Sunda, Balantika berarti usaha atau dagang.
Narsisme dalam selera musik tidak akan pernah berubah, yang berubah hanya media penyampaiannya. Freud telah berasumsi adanya insting melindungi diri sendiri yang berkenaan dengan ego. Karena Freud menyadari adanya fenomena mental dalam interaksi dari, atau konflik antara, hal-hal yang berlawanan. Kecenderungan orang kompulsif yang sangat ‘ambivalent’ terhadap orang lain yang dengannya mereka berinteraksi.
Freud memaksudkan bahwa ego yang awalnya berasal dari sensasi-sensasi yang memancar dari permukaan tubuh, adalah suatu proyeksi dari permukaan tubuh. Kesadaran tentang ‘aku’ bergantung pada persepsi atas tubuh seseorang sendiri sebagai sebuah entitas yang terpisah. Ego menjalani tugasnya dengan menyadari stimulus-stimulus yang ada dengan mengupayakan berbagai perubahan di dunia eksternal demi keuntungan dirinya sendiri.
Pembentukan atau pembagian playlist Spotify di fitur snapgram Instagram seringkali digunakan sebagai sarana penyalur ego sang pengguna. Selain itu, adanya selera dan mood menjadi salah satu penyebab terbentuknya playlist. Namun, seringkali pembagian playlist ini ditujukan sebagai sarana ajang pamer dalam mengeksplorasi sebuah genre atau musisi. Kita melihat bahwa sarana playlist tersebut dibentuk sebagai perwujudan dari bentuk pemenuhan ego di dalam diri.
Upaya mengkritik sangat diperbolehkan dalam hal ini, bahkan sangat diperlukan demi mengurangi ego. Biasanya orang-orang seperti ini akan berlindung dibalik kata ‘memberikan referensi’. Memberikan referensi sambil menghakimi selera musik kita merupakan haram hukumnya. Saya sarankan kepada anda untuk menjauhi orang-orang seperti ini, dimana kalau di tongkrongan, mereka diberi istilah “polisi skena” atau “si paling edgy”.
Kita membentuk playlist sebagai teman dalam beraktivitas dan memberi warna dalam suasana hati kita. Namun, realitanya hal ini hanyalah sebuah omong kosong belaka. Playlist dan daya tariknya hanya memberi makan ego, sehingga apabila ego itu terpenuhi, maka kita akan mencapai sebuah rasa kepuasan. Sebenarnya, kita bisa mencapai kepuasan dengan memberikan referensi, tetapi secara tidak berlebihan.
Setelah kalian membaca ini, saya harap kalian tidak memandang genre lain atau selera musik orang lain dengan pandangan rendah dan menyebutnya ‘sampah’. Semoga tulisan saya bermanfaat dan teruslah mengeksplorasi dengan playlist kalian. Terima Kasih.