Di antara topik yang sedang ramai diperbincangkan di awal tahun 2019 selain paslon fiktif Dildo (Nurhadi – Aldo), Agnez Monica yang masuk nominasi Social Star Award di iHeart Awards, dan kasus prostitusi online; kelompok yang dinamakan oleh internet “softboii” ini menjadi topik yang sedang ramai dibahas.  Setelah cukup lama kelompok “fuccboii” yang menjadi perhatian, akhirnya jenis pria satu ini muncul kembali di permukaan media sosial dan menjadi perbincangan hangat setelah salah satunya dipicu oleh munculnya thread di Twitter yang membahas cara kerja para softboii menggaet hati para wanita.

 

Sama halnya dengan kebiasaan kita melabeli kaum “indie” dengan tote bag-nya atau anak “metal” dengan baju hitamnya, softboii juga dinilai lekat dengan pilihan berbusana mereka, film yang mereka pilih, lagu yang ada di playlist mereka, dan pandangan hidup (seperti “cinta itu hanya konsep”). Setidaknya untuk memiliki pandangan seperti para softboii kita harus membenci tokoh bernama Summer di film “500 Days of Summer” (duh), mampu untuk menunjukan sisi sensitif kita ke target operasinya, dan merasa yakin tahu banyak tentang filsafat, seni, isu-isu sosial dan musik. Alasan lain softboii lebih ditakuti ketimbang tipe fuccboii adalah mereka sangat manipulatif sehingga samar-samar mereka terlihat seperti pria baik — yang nyatanya mereka sama berengseknya dengan tipe fuccboii.

 

(1)

“Dengerinnya The 1975, Matt Healy dibilang genius mulu, terus suka ngajakkin ke intimate gig band-band yang gue sebenernya enggak tahu. mereka suka cerita kalau mereka tuh difriendzone dan dianggap temen doang sama kebanyakan cewek, padahal mereka sendiri yang mengakibatkan itu” 

(2)

“Dulu dia deketin gue dengan puisi-puisinya.  Dia suka gambar dan sempet mau ngambil fine arts buat kuliahnya dan dulu masa pacaran ngomongin  isu-isu sosial. Dia perasa banget sampai minta dikasihani gitu jatuhnya. Gue jadi enggak tega aja ninggalin tapi ternyata deep down inside dia seorang berengsek.”

 

(3)

“Pas deketin dia cari topik yang related sama hobi kita dan jadi ngobrolnya lebih panjang.  Tapi yang aneh adalah dia enggak pernah mau ketemu kalau gue lagi sama orang lain atau gue ajak bareng teman-teman gue. Emang sebaik dan seperhatian itu tapi ujungnya gue tahu dia melakukan hal itu enggak ke gue doang.”

 

(4)

“Cowok ini baik banget, sopan, dan enak diajak ngobrol (plus dia tetanggaan). Gue ngerasa click ditambah dia sweet banget pernah mainin gue piano walau gue tahu dia cuma bisa lagu itu doang. One day, we had sex tapi dia enggak mau ngasih gue kepastian. Walau pada saat itu memang dia lagi ada di suatu kondisi di mana tidak boleh berpacaran, tapi di belakang semua itu dia deketin cewek-cewek lain.”

 

Berdasarkan cerita-cerita singkat di atas, para softboii jelas merusak kesenangan seluruh “permainan hati” ini karena menjalankannya sesuai dengan kehendak mereka sendiri.  Pada dasarnya, kita sudah tahu bahwa kita hidup untuk kita sendiri, kita tidak akan pernah bertemu dengan pasangan yang sempurna, tidak akan ada yang memahami diri kita sepenuhnya, dan akan selalu ada yang salah pada diri kita. Kita tetap berani/nekat menjalin sebuah hubungan hanya karena kita menyukai rasanya. Kita tahu itu semua, tetapi kalau dipikir-pikir lagi sebenarnya para softboii justru menggunakan keadaan ini untuk menghasilkan perasaan iba dari wanita yang diincarnya, setelah itu… DAR! Tiba-tiba si cowok langsung bilang, “Gue tuh suka sama lo, tapi sebatas teman,” saat si cewek udah suka balik, lalu dia hilang deh.

 

Tapi di satu sisi,  kalau kita langsung menilai seseorang berdasarkan pengamatan kita terhadap hanya apa yang mereka pakai, apa yang mereka baca dan  apa yang mereka dengarkan di daftar putar sehari-hari mereka; kita bisa jadi memberikan kesimpulan yang salah. Banyak kriteria yang dibilang lekat dengan para softboii seperti menunjukan sisi kerentanannya, up to date dengan isu sosial dan politik, suka mendengarkan Cigarettes After Sex atau Rex Orange County, dan ciri-ciri lain yang bisa kalian cari tahu sendiri di internet. Terus, di mana letak kesalahannya? Semua orang melalui suatu perjalanan yang membentuk pilihan mereka, sehingga tidak adil kalau kita hanya melihat keseluruhan diri seseorang dari satu sisi saja.

 

Justru yang salah adalah kalau kita tetap menyambut isu ini dengan terlalu lebay dan terlalu cepat mengotak-ngotakkan.  Jadi, sebaiknya kalian para wanita jangan langsung menilai terlalu cepat cowok-cowok yang sedang mendekati kalian. Tapi kalau ternyata mereka benar-benar berengsek, ya berengsekin balik!

 

Dalam rangka Gilanada menyambut hangat fenomena-fenomena internet yang akan selalu berkembang kapan pun dan di mana pun kita berada, penulis merangkum nama-nama musisi yang cocok banget disebut sebagai jelmaan para softboii. Walau penulis sebenarnya enggak tahu di kehidupan asli mereka kaya gimana (karena kenal aja enggak), tetapi berdasarkan kualitas musik yang mereka hasilkan dan image mereka di panggung ini sebagai musisi berparas tampan, edgy, nyeni dan (beberapa kelihatannya) suka sebats, mereka sangat bisa menjadi jelmaan softboii yang sempurna!

 

 

Ardhito Pramono

Dari lingkungan penulis sendiri sih sebenarnya banyak banget yang diam-diam nge-fans doi, tapi enggak mau ngaku karena enggak mau dikira sebagai cewek pada umumnya. Kharisma dia di media sosial dan tema di lagu-lagunya mungkin menjadi alasan terbesar mengapa mayoritas yang berdiri di paling dekat barikade pembatas crowd dengan stage kalau lagi live adalah kaum wanita. Tahun 2017 merupakan tahun dimana ia merilis EPArdhito Pramono” yang di dalamnya terdapat enam lagu, termasuk rekaman terbaru “Bitterlove” (tahun 2017 ia sudah merilis single ini) yang menjadi lagu paling sering diputar oleh pendengarnya di Spotify dengan angka yang cukup tinggi, yaitu tiga juta pendengar.  Setelah “Ardhito Pramono”, masih di tahun yang sama dia merilis “Playlist. Vol 2”, lalu dua single berikutnya di tahun 2018 bertajuk “Fake Optics” dan versi baru “Bitterlove”.

Ngomongin musik jazz, banyak yang bilang genre musik ini lagi mati. Bahkan salah satu festival jazz yang menjadi kebanggaan industri hiburan tanah air ini semakin banyak mengisi line up-nya dengan musik yang akarnya sendiri pun bukan  berasal dari musik jazz di perhelatan terakhirnya (Lauv, Jhene Aiko?). Tapi akhir-akhir ini, kemunculan nama-nama seperti Kamasi Washington seakan mematahkan argumen genre ini sudah mati. Sedangkan di dalam negeri, banyak talenta-talenta baru di berbagai level yang bisa kita banggakan seperti Joey Alexander yang baru-baru ini masuk ke video NPR Music Tiny Desk. Di level yang lebih “pop”, musik Ardhito Pramono sendiri sebenarnya menghasilkan musik jazz yang bisa didengarkan oleh banyak orang dan musiknya pun enggak ribet. Penulis pikir, musik dia bisa menjadi jembatan para pendengarnya untuk mendengarkan lebih luas musik jazz.

Melalui tema lagu yang sebagian besar tentang cinta juga menjadi faktor kenapa Ardhito Pramono masuk ke dalam list ini. Dia baru saja mengumumkan di laman Instagramnya bahwa dia akan merilis EP terbarunya di awal tahun. Dengan semua ini, dia bisa aja dapetin semua cewek-cewek badai di luar sana.

 

 

Sal Priadi

Kalau melihat cuaca mendung, penulis biasanya langsung nyeletuk di dalam kepala, “Wah, cuacanya lagi cuaca Sal Priadi nih!” Musik dari musisi bernama asli Salmantyo Ashrizky Priadi seakan memang sangat mendukung untuk cuddling di saat cakung (cuaca mendukung). Dilihat dari luar, karakter yang ia ciptakan juga mirip dengan tokoh-tokoh film pria yang tinggal di kota Paris (walau penulis belum pernah ke sana dan hanya berdasarkan referensi visual dari film-film aja) dengan pakaian minimalis nan timeless serta rokok di tangannya. Setiap kali lihat muka dia di foto Instagramnya, penulis berharap banget sih jadi dia, karena setiap ekspresinya seperti mengatakan dia kaya udah capek dengan ratusan cewek yang lagi modus atau dapetin perhatian dia.

Berangkat dari latar belakang dia sebagai penulis, lirik di ketiga single dia selalu menjadi senjata untuk menarik para penikmat musik mendengarkan karyanya. Single bertajuk “Kultusan” menjadi momentum ia mulai terekspos oleh banyak orang dan pada tahun berikutnya ia merilis “Ikat Aku di Tulang Belikatmu” yang sempat masuk nominasi Artis Solo Pria Pop Terbaik di AMI Awards tahun 2018. Untuk yang pertama kalinya, awal Desember 2018 Sal Priadi merilis musik video ketiganya “Melebur Semesta” di Youtube. Konsep musik videonya ini semakin memantapkan penilaian penulis kalau Sal Priadi itu pribadi yang sangat sensitif terhadap seni. Detik ini penulis lagi mikir lagu karya musisi Indonesia mana lagi yang mampu menggambarkan hubungan seks menjadi sesuatu yang aesthetic selain “Melebur Semesta”

Sejauh ini sih baru kepikiran “Sedang Ingin Bercinta”-nya Dewa 19, tapi kayaknya terlalu nakal dan jelas. Eh tapi lagu Dewa 19 ini lebih cocok buat fuccboii, jadi semakin memperjelas pandangan penulis bahwa “Melebur Semeta” ini emang cocok banget buat pendengar softboii!!!!!! Oke skip.

 

 

Adikara Fardy

Di umur yang sangat hijau dia sudah mulai terkenal karena suaranya yang sebenarnya agak enggak lazim dimiliki oleh orang semuda itu. 2016 (atau 2015?) menjadi tahun di mana ia mulai dikenal karena unggahan Instagramnya di akun @adikaraf, lalu salah satu momen penting bagi karirnya adalah saat dia berhasil menembus angka 1.7 juta viewers dari unggahan video cover lagu ciptaan Andre Hehanusa bertajuk “Karena Ku Tahu Engkau Begitu” di Youtube. Di antara semua nama-nama di list ini, Adikara Fardy merupakan musisi termuda yang penulis masukkan.

Vokalnya yang sangat kharismatik membuat penulis awalnya enggak percaya dia masih SMA. Dia termasuk salah satu penyumbang suara di album “Detik Waktu: Perjalanan Karya Cipta Candra Darusman” (yang baru saja dirilis kembali pada Januari 2019) bersama Sheila Majid, Glenn Fredly, Danilla Riyadi, dan masih banyak lagi. Ia juga mengisi soundtrack untuk film “Eiffel I’m in Love 2” bersama Melly Goeslaw di tahun 2018. Referensi lagu yang sering dia bawakan di video cover-nya juga menyangkut aliran musik yang diciptakan oleh nama seperti Bill Withers, The Police, Frank Sinatra dan Michael Buble.

Selain segala pencapaian yang disebutkan di atas maupun yang tidak, sosoknya sebagai gentleman yang identik dengan jas layaknya Michael Buble atau Frank Sinatra membuat penulis harus memasukkan nama dia di dalam list ini. Adikara Fardy bisa jadi salah satu nama besar di dunia musik tanah air ini kelak. Semoga saja dia enggak terjerumus di pergaulan yang terlalu bebas saat dia semakin gede. hehehe.

 

 

Pamungkas

Kemunculan album “Walk the Talk” karya musisi asal Jakarta bernama asli Rizky Pamungkas ini sebenarnya sedikit mengejutkan, entah karena sebelumnya kami yang tidak berhasil menangkap namanya di radar kami selama dua tahun ini atau gimana, tetapi album yang berisikan 16 tracks ini bukan album yang main-main. Kami sempat memasukkan album ini ke daftar rilisan 2018 terbaik versi kami di artikel sebelumnya karena kami menyukai beberapa aspek dari album ini termasuk aransemennya yang terdengar segar dan catchy. Album ini kaya dengan formula musik elektronik yang sedang banyak digunakan oleh musisi-musisi lain, tetapi dengan tidak klise.

“I Love You But I’m Letting You Go” menjadi single andalan yang kerap dijadikan sebagai batu loncatan pendengar untuk mengenali album ini secara lebih dalam. Pendengar bisa mengakses album ini tidak hanya melalui platform seperti Spotify saja tetapi bisa juga menyaksikan video lirik dari seluruh album di kanal Youtubenya. Sangat bijak, bukan? Tetapi sejauh ini, ia baru menghasilkan dua musik video yaitu dari single andalannya dan “Walk the Talk”; sebuah single yang mengatakan bahwa album ini lahir dari pengalaman personal dan sisi dirinya yang percaya diri.

Tidak jarang ia terlihat menggunakan blazer, over coat, sweatshirt dan loafers di beberapa kali kesempatan di media sosial termasuk video saat ia sedang perform. Tampilan khasnya menjadi salah satu daya tarik Pamungkas untuk lebih dikenal oleh banyak orang.

 

 

Rendy Pandugo 

Salah satu alasan kenapa nama ini dikenal yaitu dari kemampuan permainan gitarnya yang mampu menyentuh ranah musik blues namun tetap bisa membungkusnya menjadi musik pop yang groovy. Penulis akui pilihan chords dia saat membuat lagu-lagunya cukup cerdik dan asik. Ditambah, karakter dia di atas panggung mengingatkan penulis kepada… ah sudahlah, pasti capek dia dimiripin terus. Tetapi penulis sudah mendengarkan sejak dia masih merilis musik-musik cover dia termasuk salah satu yang terkenalnya saat ia membawakam “Falling in Love at a Coffe Shop”-nya Landon Pigg.

Mungkin di antara keempat nama lainnya, Rendy Pandugo berada di level yang memiliki lebih banyak pendengar. Apalagi saat ia merilis album perdananya bertajuk “The Journey” pada 2017 silam dan single “Heaven” bersama Afgan dan Isyana Saravasti. Ia juga sebagai pengisi soundtrack di film Galih dan Ratna dengan lagunya “Hampir Sempurna”. Musik dan liriknya yang mudah dicerna semakin menjadikan nama Rendy Pandugo sebagai gitaris sekaligus penyanyi yang disukai oleh banyak orang.

Selain pesona yang ia tunjukkan, gitar Stratocaster berwarna sunburst, Gibson 335 merahnya dan Martin edisi D-45 yang sering terlihat dipakai oleh dia menjadi poin plus kenapa dia harus masuk ke dalam list ini.