Nama “Wembley Stadium” pasti tidak terdengar asing di telinga. Berkat film “Bohemian Rhapsody,” khalayak umum jadi mengingat nama “Wembley Stadium” sebagai tuan rumah Live Aid 1985, dimana Freddie Mercury membuat lebih dari 70.000 penonton bernyanyi dalam harmoni, hanya dengan suara dan tangan kanannya. Musisi besar lainnya seperti Muse, One Direction, Michael Jackson dan masih banyak lagi juga telah meninggalkan jejak mereka di Wembley. Tapi sebelum Live Aid, stadion ini sudah menjadi saksi mata sejarah olahraga. Wembley-lah tuan rumah Final Piala FA 1923 yang dihadiri Raja George V dan diabadikan dalam foto “White Horse” yang ikonik, lalu ada Olimpiade Musim Panas 1948 yang merupakan olimpiade pertama pasca berakhirnya Perang Dunia II dan Piala Dunia 1966 yang dimenangkan oleh Inggris, satu-satunya kemenangan mereka (Wembley Park, 2021).

Lalu ada Madison Square Garden. Panggung terakhir John Lennon. Dalam sebuah artikel Rolling Stone mengenai “50 Konser Terbaik dalam 50 Tahun Terakhir,” tempat ini muncul sebanyak 6 kali yaitu sebagai tuan rumah konser terbaiknya Cream, Ike & Tina Turner, The Rolling Stones, Leonard Cohen, LCD Soundsystem dan sebagai tempat diselenggarakannya peringatan “Rock and Roll Hall of Fame” ke-25 (Rolling Stone, 2017). Kalau kita lihat ke seberang –dunia olahraga, Madison Square Garden atau MSG (not to be confused with Indonesians favorite seasoning) juga merupakan tempat dimana Knicks menang kejuaraan pertama mereka, dimana Muhammad Ali melawan Joe Frazier, juga dimana Wrestlemania lahir dan masih banyak lagi (Hotels4Teams, n.d.).
AT&T Stadium, Stadio Olimpico, Seoul Olympic Stadium, Friends Arena yang bahkan diperluas agar bisa menampung lebih banyak penonton konser, mereka semua ini adalah bukti bahwa stadion olahraga juga merupakan venue acara musik. Maka, saya menjulingkan mata melihat pegiat musik dan pegiat olahraga beradu mulut di media sosial karena jadwal pelaksanaan konser Coldplay di Jakarta yang bertajuk “Music of the Spheres” kabarnya bentrok dengan jadwal Piala Dunia U-17. Lebih jelasnya, konser Coldplay akan digelar pada 15 November 2023, sedangkan Piala Dunia U-17 akan digelar dari 10 November sampai 2 Desember 2023 (CNBC Indonesia, 2023).
Well, masalahnya jelas. Solusinya? Not so much. Banyak yang meminta agar konser diundur. Kapan? Piala Dunia U-17 saja baru selesai di awal Desember. Tidak sedikit juga yang mengusulkan agar venue dipindah. Ke mana? Satu-satunya opsi tempat yang bisa menampung jumlah penonton yang lebih dari 50.000 orang karena tiket sudah habis terjual adalah JIS yang dikenal sebagai penyebab kemacetan karena akses jalannya yang amburadul. Lagipula, musisi-musisi dengan nama sebesar Coldplay selama ini selalu bermain di GBK. Ada juga solusi yang lebih “kreatif” yaitu menggabungkan keduanya, contohnya yaitu Coldplay dijadikan penampilan pembuka Piala Dunia U-17. Jelas solusi ini walaupun diplomatis, solusi ini diselimuti masalah. Pertama, yakin orang-orang yang sudah bayar mahal rela menonton Coldplay dengan durasi opening act? Kedua, Piala Dunia U-17 kan rencananya mulai tanggal 10 November bukan 15, lalu buat apa ada penampilan “pembuka” atau penampilan apapun di tengah-tengah jadwal penyelenggaraan? Apakah konsepnya “halftime” tapi bukan halftime? Untungnya solusi yang disepakati adalah yang paling adil dan logis, yaitu berdasarkan fakta dari pihak pengelola GBK yang mengatakan bahwa promotor Coldplay sudah duluan memesan venue, maka yang kemungkinan besar dipindahkan tempat pelaksanaannya adalah Piala Dunia U-17.
Maka, kita kembali ke bahasan utama, apa itu fungsi stadion? Dalam KBBI tertulis bahwa “stadion” adalah lapangan olahraga yang dikelilingi tempat duduk. Kata “stadion” sendiri berasal dari Yunani yang berarti (sekitar) 185 meter standar panjang lintasan lari dan pacuan kuda, keduanya ada kaitannya dengan cabang olahraga. Jadi sepertinya memang ada kesepakatan bahwa fungsi stadion “seharusnya” untuk olahraga. Tapi mari kita berkaca pada sejarah. Jika orang-orang yang “berhak” menentukan untuk apa stadion dipakai bersikeras bahwa stadion itu khusus olahraga tok dan tidak mengizinkan the Beatles untuk menggelar konser pertama di stadion pada tahun 1965 (yang berhasil menjual sekitar 55.000 tiket), kita akan melewatkan banyak momen ikonik musik seperti Queen di Live Aid ‘85 dan lainnya. Kita tidak akan pernah merasakan euforia menonton konser di venue berbentuk stadion yang menurut saya pribadi memiliki keunikan dan pesonanya sendiri dibandingkan acara-acara festival di lapangan luas. That brings us to the next thing yaitu konser-konser di stadion itu cenderung “solo,” dalam artian bentuknya bukan festival yang diisi banyak penampil. Hal ini memungkinkan musisi untuk tampil dengan durasi yang jauh lebih panjang, dengan “pernak-pernik” yang lebih bebas dan kreatif, terutama memberikan perasaan yang lebih “intim” dengan penonton karena mereka yang membeli tiket pasti hanya ingin melihat musisi yang tampil, tidak bercampur-aduk dengan penggemar musisi lainnya.
Akhir kata, rasanya sangat kuno untuk membatasi fungsi stadion sebagai tempat diselenggarakannya acara olahraga saja karena sejarah membuktikan bahwa pengaruh musik di stadion sama besarnya dengan olahraga. Olahraga dan musik sendiri sering berseberangan. Lagipula, kesempatan mengadakan acara olahraga besar dan acara musik besar di waktu bersamaan tentu akan sangat menguntungkan negara, jadi untuk apa kita mengorbankan salah satunya?