Raw sekali! Itulah kesan pertama yang saya miliki ketika mendengar “Lost in Translation“. Drum beat yang terasa sangat artificial dan tok 808 (aku juga tidak terlalu mengerti namun rasanya seperti lagu hiphop 80-an), menjadi pemicu utama mengapa kesan pertama tersebut bisa muncul. Namun setelah mendengar lebih lama lagi, lagu ini mengingatkan saya dengan sang legenda, Cocteau Twins. Synth-nya mengalun tarik khas dream pop, mengawang-ngawang di atas awan pink psikedelik. Vokal disunting habis sehingga bernada nyaring dengan pembacaan lirik yang berbisik lembut (sampai-sampai saya tidak bisa tau mereka mengatakan apa), juga menjadi poin utama mengapa saya bisa ingat si kembar Cocteau. Walau setelah saya iseng membuka laman lirik di Spotify, lagu ini punya lirik yang jelas juga. Pembawaan vokalnya saja yang memang sengaja tidak artikulatif melainkan lebih ke arah ingin menghiasi nada dan drum beat lagu lewat gumam mulut seperti bocah 10 tahun (punya kesan lugu dan playful).

Liriknya pun setelah saya baca dan amati seksama, menceritakan betapa lugunya sebuah kisah cinta. Terbayang di pikiran, wanita coquette yang sedang mengisi Teka-Teki Silang dengan pita dan kaos kaki vintage putih di kakinya, sambil memakan lolipop merah sedang menyenandungkan langgam ini. Jikalau didengar sekilas pula, suara milik iNai ini terdengar seperti suara hantu di lagunya Ed SheeranThinking Out Loud. HAHAHA bagaimana tidak? Nyanyiannya terdengar seperti hantu noni-noni Belanda yang sedang gundah akan cintanya kepada manusia zaman seakarang. HAHA maaf jika imajinasi-imajinasi kepalang lampau. Tapi kurang lebih begitulah untuk mendeskripsikan langgam “Lost in Translation” ini.

Yuda Azhar Djauhari (Dok. Press Release)

Lovesleeps sendiri merupakan sebuah projek solo dari Yuda Azhar Djauhari yang sejak 2005 sudah mulai memproduksi beberapa lagu menggunakan komputer fasilitas kampus. Saat itu Lovesleeps masih bernama Vanguard Emperor, hingga akhirnya Yuda mengubah nama tersebut menjadi Lovesleeps karena dirasa lebih relevan dan mudah diingat. Pada awal tahun 2020, Lovesleeps telah mengeluarkan lagu “Universe is You, Just For a Day” yang merupakan sebuah daur ulang dari lagu lama band Yuga sebelumnya. Sejak saat itu Yuga giat membuka materi-materi lagu lama dari hard disk untuk kemudian didaur ulang dan kembali dikerjakan dengan lebih serius.

Menurut Yuga sendiri, lagu “Lost in Translation” ini menceritakan tentang bagaimana ketika kita menulis berbagai hal di masa lalu, hal-hal tersebut bisa terjadi di masa sekarang. Rasanya terdengar seperti kegiatan “manifesting” (pakai emot evil eye). Yuga juga mengatakan bahwasannya memang terkadang kita tidak mengetahui apa-apa yang kita katakan di masa lalu dapat menjadi kenyataan di masa sekarang.

Setelah saya tilik-tilik, lagu ini memiliki versi extended-nya juga. Sontak saya langsung dengar, ingin merasakan pengalaman mendengar lebih lama dari yang orisinilnya. Mengutip Yuga, versi extended-nya ini dapat dibagi menjadi 3 bagian: yang pertama, bagian dimana kita merasa bahagia dapat menjalani kehidupan sesuai dengan jalur kehidupan saat itu. Yang kedua, bagian dimana kita merasa tidak sadar bahwa apa yang kita lakukan itu terkadang bodoh, namun tetap lucu dan indah untuk diingat, meskipun kita tidak dapat mengetahui bagaimana berakhirnya cerita tersebut. Bagian terakhir, lebih kepada mempertanyakan bagaimana kita menanggapi fenomena tersebut. Apakah dengan menerima situasi? Berjuang pada apa-apa yang kita inginkan? Atau bahkan meninggalkan segalanya?

Mau bagaimana pun, hal itu hanya bisa dijawab oleh diri masing-masing. Namun yang pasti, lagu “Lost in Translation” ini berusaha untuk meng-capture pengalaman unik tersebut. ArtworkLost in Translation” ini juga menampilkan lambang bunga matahari yang menurut Yuga dapat melambangkan rasa cinta, hormat dan keberanian. Saya setuju saja dengan pernyataanya tersebut, terlebih saya setuju bahwa Lovesleeps memiliki keberanian dalam merilis jenis musik yang tidak banyak saya temui hari ini.