Manusia beterbangandan circle pit sudah digelar dengan berisikan kaki-kaki melayang menepis muka. Rasa sakit akibat terjatuh dari stage hingga muka menapak lantai pun sudah biasa dan tidak terasa lagi sakitnya. Gabungan rasa amarah dan semangat dari scream sang vokalis sudah melampaui batas, semata-mata demi menghibur para penonton. 

Membayangkannya saja sudah seperti medan perang atau ombak di lautan, anjir kacau banget. Para penonton tidak perlu malu-malu untuk melakukan hal-hal goblok seperti itu. Kalau boleh dikategorikan dalam extreme sport, aku rasa kegiatan ini juga termasuk extreme. Gilanya, melihat venue dari pagelaran gigs Hardcore pada umumnya, mereka tidak memerlukan stage besar untuk membuat kekacauan seperti yang dibayangkan. Apalagi, biasanya mereka hanya menggunakan tempat-tempat seperti garasi, basement, skatepark, bar, dan sebagainya.

Linimasa di Instagramku kebanyakan berisikan hasil arsip dari sebuah acara Hardcore dan juga terdapat foto kawan-kawanku yang sedang melakukan crowd surf, two step, violence dance, atau pun stage dive. Namun, aku sendiri sudah pernah juga diabadikan ketika melakukan crowdsurf di sebuah gigs saat Perunggu sedang bermain. Aku cukup bangga karena momen tersebut dijadikan sebagai foto di Spotify band ini. Anjay.

Ilustrasi Foto (Sumber: @gangcalledspeed)

Terkadang yang membuat aku menjadi iri dan FOMO adalah line-up yang ditawarkan itu sangat ngaco, sehingga tidak diragukan lagi bahwa penontonnya pun akan menjadi sangat gokil. Namun, berkat kemajuan dari media sosial pun—terima kasih Instagram dan Youtube—bayangan ini sudah terdokumentasikan berkat juru arsip andal kenamaan Amerika, Sunny Sigh dari Hate5six, sebuah juru arsip Hardcore kenamaan asal Amerika Serikat. 

 Tetapi, percayalah bahwa aku memiliki mimpi bahwa suatu saat aku akan ke negeri Paman Sam untuk nonton gigs Hardcore disana. Mungkin juga, aku akan masuk ke dalam video dokumentasi Hate5six, entah sedang stage dive, crowdsurf, atau two step. Doakan saja ya, teman-teman. 

Sembari aku menempuh pendidikan di perguruan tinggi, menjalani masa-masa kuliah yang membosankan itu, pencarian jati diri dan proses healing-ku adalah dengan menonton gigs, terutama gigs Hardcore. Tingkat seringnya aku menonton gigs pun sudah diketahui oleh mutual-ku di Instagram, karena aku selalu membagikannya di SG-ku. Bahkan, mereka sudah mulai mempertanyakan asal muasal-ku mengetahui pelaksanaan gigs tersebut darimana. Yaa=, intinya tanpa gigs, aku hanyalah seorang introvert yang suka diam di kosan. 

Ketika sudah mengenal dunia gigs, isi playlist dari Spotify ku perlahan mulai berubah 80 persen. Dari yang menyukai hip-hop dan chart billboard—entah menye-menye sampai jedag-jedug itu—hingga sekarang mendengarkan musik-musik berisik dan aneh, itu kata temanku. Aku tidak tahu. Perubahan itu mulai menyadarkanku sampai detik ini, sampai tulisan ini dibuat. Kalau kata orang-orang, ngulik itu sangat diperlukan dalam segala sesuatu. 

Mempelajari studi komunikasi pun kukira bakalan tidak berguna, tetapi ternyata fenomena-fenomena yang dipaparkan oleh dosenku pun terjadi di dalam diriku. Label dan stereotip yang dijelaskan pun tergambarkan dalam diriku oleh teman-temanku. Mereka menganggap aku sangat menyukai moshing dan kecanduan crowd surf, bahkan mereka melabel diriku sebagai two step handal. Entah mau bangga atau tidak, aku pun mempertanyakan kembali ke dalam diriku. 

Sampai-sampai, pikiranku sempat terbersit bahwa untuk apa kita melakukan two step, crowd surf, moshing, dan sebagainya di sebuah gigs. Untuk apa melakukan kerusuhan dan melakukan kebodohan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Mungkin aku belum menemukan jawabannya, sampai suatu saat aku melihat sebuah cuitan Twitter dari record label punk asal Blitar, Jawa Timur, bernamakan Greedy Dust.

Mengutip cuitan dari akun @greedydust, Ia mengatakan bahwa, “Hardcore is the true manifestation of consensual violence. Not to be evil, but as a subcult that provides perspective and as a catharsis for certain people. Makes people out there uncomfortable and sometimes hate the moshpit and our works. Love hardcore and everyone around us”. Kalau diartikan, maka Hardcore merupakan sebuah manifestasi dari kesukaan terhadap kekerasan dan juga menjadi pembersihan bagi beberapa orang. Opini ini memang tidak bisa diterima oleh semua orang, sehingga cuitannya menimbulkan perspektif pro dan kontra.

Dalam bahasa ilmiah pun, katarsis dikategorikan sebagai proses terapeutik berupa lepasnya emosi yang intens diikuti dengan terungkapnya suatu emosi yang bersifat traumatik dengan tujuan tercapainya suatu resolusi. Menurut Ikhsan Bella Persada, M.Psi., katarsis disebut juga sebagai penyaluran atas emosi yang dirasakan oleh seseorang. Kalau kita pahami lebih lanjut, orang-orang yang melakukan stage dive, crowd surf, atau two step mungkin mendapatkan sebuah pencerahan dari masalah-masalah dan emosinya. 

Memang dalam menikmati musik, tidak semua orang mampu melakukan two step dan sebagainya. Hal ini membutuhkan keterampilan khusus untuk beradu gerakan di “medan pertempuran”. Melansir dari Hopes&Fears, Paul Wertheimer, pendiri crowd management strategies, Beliau membeberkan lima alasan tersebut sebagai perasaan senang, bentuk komunikasi dengan idola, ritual, bukti kebebasan, bukti kesetaraan, dan tekanan pergaulan. 

Menurutku, orang melakukan two step dan sebagainya itu memiliki alasan-alasan yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa, “Moshing atau two step merupakan olahraga senam yang berkedok have fun.” Sedangkan, ada yang mengatakan juga bahwa, “ Tanpa two step (di sebuah gigs), rasanya seperti sudah makan, tapi tidak merokok.” Pastinya, setiap orang memiliki tujuan dan kesenangan masing-masing dalam melakukan hal itu. 

Luthfi Upy, sebagai drummer dari band hardcore asal kota kembang bernama Bleach, pernah mencuit di akun Twitternya mengenai tren di skena Hardcore. Mengutip dari akun @upyluthfi_ (17/05), “Saya bukan pakar musik, bukan juga pakar fashion. Menurut sepengetahuan saya, Hardcore merupakan suatu bentuk ekspresi, gaya hidup dengan pemikiran kedepan dan perhatian mereka terhadap lingkungan.”  

Akbar Teguh, sebagai vokalis dari band hardcore bernama Lowest Youth pun angkat suara mengenai alasan orang-orang melakukan hal ini. Menurut Ibay, nama sapaan yang sering digunakan untuknya, “Karena setiap musik hardcore ga harus two step ko. Cuman lebih dominan gerakan two step ya di musik hardcore. Kayaknya, lebih penting apa itu hardcore deh. Karena two step sebagai pelengkapnya untuk yg menikmati.”

Dalam kesukaanku menonton gigs, aku menyadari bahwa kita yang dipertemukan di sebuah acara ini memiliki satu tujuan yang sama, yaitu sarana berekspresi dan proses penyaluran emosi. Memiliki latar belakang yang berbeda-beda bukan berarti diperlakukan berbeda, melainkan bersama-sama untuk bersenang-senang. Aku menyadari juga bahwa hardcore itu bukanlah hanya sebagai genre saja, melainkan sebagai movement yang diwariskan turun-temurun.

Di dalam tulisan ini, aku tidak memaksa kalian untuk melakukan two step, stage dive, crowd surf, atau melakukan hal yang kalian nilai itu berbahaya. Disini aku hanya membagikan perspektif dan alasan mengapa kita menyukai hal ini dan melakukannya. Aku merasa bahagia dan mendapatkan kepuasan tersendiri ketika melakukannya. Ya, setidaknya aku mendapatkan makna atas hidupku sendiri.