Acara yang digadang-gadang sebagai ‘The First International Forest Festival” mendatangkan banyak penampil baik yang bertaraf internasional hingga musisi lokal. Menonton acara musik di tengah hutan daerah Lembang saat musim hujan tentunya meninggalkan banyak cerita.
November yang kerap dikaitkan dengan musim hujan tidak menjadi alasan bagi The Group untuk tidak menggelar festival musik yang ditunggu-tunggu, LaLaLa Festival, Sabtu (5/11) kemarin. Langit yang cerah hari itu cukup meyakinkan bahwa hujan akan libur dulu. Para pengunjung yang ingin menyaksikan artis idolanya berboyong-boyong mendatangi Terminal Wisata Grafika Cikole, Lembang yang membuat jalanan menuju venue padat dan cukup tersendat.
Pintu masuk menuju venue tepat dibuka jam 12 siang. Para penonton yang berpakaian a la Bohemian tampak memadati area hutan pinus sambil berfoto ria menunggu acara dimulai. LaLaLa Festival sendiri memiliki tiga stage berbeda yang memiliki jarak cukup jauh antar stage. Nature Stage yang didominasi oleh band-band hasil audisi dan musisi lokal, Future Stage yang diisi musisi seperti HMGNC, Payung Teduh, Bottlesmoker dari dalam negeri dan MYMP, Naxxos, Wekeed dari mancanegara, dan ada juga LaLaLa Stage yang menjadi tempat tampilnya jajaran musisi tingkat nasional dan internasional mulai dari Teza Sumendra, Maliq & D’Essentials, Jasmine Thompson, Kodaline, hingga Keith Ape.
LaLaLa Festival dibuka oleh penampilan Trou di Future Stage, salah satu band kurasi, Fjord, di Nature Stage, dan dilanjut oleh penampilan Teza Sumendra di LaLaLa Stage. Acara berlangsung lancar dan sesuai rencana seperti terlihat di akun Instagram milik LaLaLa Festival. Namun, sekitar jam 2 siang hujan cukup deras mengguyur kawasan Bandung dan terus berlangsung selama sekitar dua jam. Hujan yang tak kunjung berhenti membuat acara terpaksa diberhentikan hingga cuaca cukup mendukung untuk melanjutkan ke penampilan selanjutnya.
Tidak dapat disangkal hujan merubah keseluruhan venue yang berlokasi di hutan pinus menjadi kubangan lumpur yang cukup riskan bagi pengunjung dan alat-alat penunjang festival musik tersebut. Para calon penonton yang belum sampai ke venue pun harus menghadapi kemacetan berjam-jam yang diakibatkan membludaknya jumlah kendaraan yang menuju Lembang — bersaing dengan warga yang ingin liburan, pulang ke rumah masing-masing, dan sesama penonton LaLaLa Festival. Jarak tempuh Bandung-Lembang pada hari libur yang biasanya memakan waktu satu hingga dua jam, Sabtu lalu seakan menjadi perjalanan mudik saat lebaran. Penonton yang terjebak macet tidak bisa menahan diri untuk tidak meramaikan kolom komen Instagram milik LaLaLa Festival dengan keluhan dan pertanyaan karena bagi pemegang tiket early-entry, mereka harus hadir di venue sebelum jam yang ditentukan agar tidak mendapatkan penalti sebesar 200 ribu rupiah.
Meski rundown menjadi sedikit melenceng dari rencana awal, acara terus dilanjutkan dengan penampilan HMGNC dan MYMP di Future Stage dan band hasil audisi lainnya di Nature Stage. Medan yang terjal dan berlumpur tidak menghalangi animo penonton untuk menyaksikan penampilan-penampilan yang disajikan pada setiap stage, kecuali di LaLaLa Stage yang kosong setelah penampilan Teza Sumendra. Menjelang malam tiba, giliran Bottlesmoker yang menghibur para penonton di area Future Stage ditemani penampilan interaktif dari seniman visual seperti Orcyworld, Wanggi Hoed, Permata Rahardja, dan Galuh Pangestri. Setelah disajikan penampilan yang seakan membawa penonton ke dimensi lain, tiba saatnya Payung Teduh menyenandungkan nyanyian-nyanyian sendu di tengah pepohonan pinus mulai dari ‘Resah’, ‘Berdua Saja’, hingga ‘Menuju Senja’.
LaLaLa Stage yang sempat kosong dari siang hari karena batalnya Isyana Sarasvati tampil, diisi oleh penampil selanjutnya yaitu duo elektronik asal Jakarta, Kimokal. Kimokal yang naik panggung sekitar jam 6 sore, terlambat sekitar 4 jam, membawakan sekitar delapan lagu termasuk lagu-lagu andalannya, ‘Under Your Spell’ dan ‘Spectrum’. Setelah penampilan dari Kimokal, terdapat jeda yang cukup panjang untuk penampilan berikutnya. Tidak adanya MC atau bahkan voiceover untuk memberi tahu penampil selanjutnya membuat penonton diberikan kesempatan untuk mereka-reka dari setting-an panggung yang diatur oleh staf. Seperti iseng-iseng berhadiah, giliran dara asal Inggris, Jasmine Thompson, yang naik panggung alih-alih Maliq & D’Essentials jika merujuk pada rundown. Penyanyi yang terkenal melalui lagu cover yang diunggahnya di Youtube ini membawakan kurang lebih enam lagu yang didominasi oleh lagu-lagu cover dari musisi terkenal lainnya. Dibuka oleh lagu ‘Adore’, penyanyi berusia 16 tahun ini sukses mengobati sebagian penonton yang menunggu terlampau lama untuk menyaksikan penampilannya. Sempat menyapa dan berterima kasih di tengah penampilannya, Jasmine kemudian membawakan beberapa lagu cover seperti ‘Never Let Me Go’ dari Florence and The Machine, ‘Mad World’ dari Tears for Fears, dan ditutup oleh ‘Rather Be’ milik Clean Bandit yang mengundang suara riuh dari penonton yang ikut bernyanyi.
Kekosongan panggung yang cukup lama kembali mengisi LaLaLa Stage. Jeda yang memakan waktu sekitar tiga puluh menit tidak membuat ribuan penonton yang memenuhi area LaLaLa Stage rela meninggalkan spot mereka, malah area stage yang akan menjadi panggung salah satu artis pamungkas milik LaLaLa Festival itu semakin penuh dan berdesak-desakkan. Akhirnya lampu panggung menyala dan mengeluarkan suara, sambutan dari sekolompok orang yang menamakan diri mereka Maliq & D’Essentials disambut teriakan dan tepuk tangan penonton. Dengan mengenakan baju senada berwarna biru, Maliq mengembalikan mood penonton dengan membawakan tembang-tembang andalan mereka seperti ‘Setapak Sriwedari’, ‘Himalaya’, ‘Pilihanku’, ‘Dia’, hingga ‘Untitled’. Penampilan yang enerjik dan menghibur dari Angga dkk ditutup oleh lagu dari album The Beginning Of A Beautiful Life, ‘Terlalu’. Band yang telah mengeluarkan enam album ini memberikan penampilan luar biasa hasil perpaduan musik yang up-beat dengan aksi panggung yang enerjik dan menarik.
Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu kebanyakan penonton tiba, salah satu main artistyang menjadi magnet utama festival musik ini menunjukkan tanda-tanda akan tampil. Kodaline, band asal Irlandia yang dimotori oleh Steve Garrigan ini membuka penampilan mereka dengan ‘One Day’. “Bandung, we love Bandung!”, sapa Steve diiringi teriakan histeris penonton yang merasa terbayar sehabis basah kuyup kehujanan dan berpijak di atas kubangan lumpur selama berjam-jam. Band yang dulunya dikenal dengan nama 21 Demands ini membawakan total 10 lagu dan 2 lagu encore dari kedua album mereka, In A Perfect World dan Coming Up For Air. Rona bahagia dari wajah penonton terpancar jelas saat Kodaline membawakan lagu-lagu yang sudah tidak asing di telinga penggemar, mulai dari ‘High Hopes’, ‘Love Will Set You Free’, hingga ‘Love Like This’ yang juga tidak alpa turut dinyanyikan penonton. Pada lagu ‘The One’, barisan penonton dari depan hingga belakang mengangkat telepon genggam mereka di udara membuat lautan cahaya tercipta di tengah gelapnya malam, karena mengutip dari Steve sendiri, “…this is a romantic song“.
Kodaline pamit undur diri seraya mengucapkan terima kasih atas antusiasme penonton yang luar biasa dan berharap bisa segera datang lagi ke Indonesia. Para penggemar Kodaline yang belum rela berpisah mulai meneriakkan “WE WANT MORE!! ALL I WANT!!” karena lagu andalan mereka tersebut belum dibawakan. Akhirnya, Kodaline kembali ke atas panggung membawakan satu lagu cover dari Kygo dan ‘All I Want’ sebagai penutup kebersamaan romantis antara 4 orang pria di atas panggung dengan ribuan penonton dari dalam maupun luar kota Bandung malam itu.
Seusai penampilan Kodaline, penonton di area LaLaLa Stage hampir berkurang setengahnya, memberikan space bagi para penonton yang menunggu penampilannya untuk bernafas dan duduk-duduk beralaskan jas hujan bekas diatas lumpur. Terdapat jeda yang cukup panjang lagi sebelum peralatan band dikeluarkan berganti dengan DJ Set yang lagi-lagi membuat penonton main tebak-tebakan akan siapa yang tampil. Setelah menunggu cukup lama, duo Jack Glass dan Chris Stracey dari Bag Raiders mengambil alih panggung. Duo elektronik asal Australia ini membawakan set mereka selama kurang lebih satu jam termasuk lagu andalan mereka, ‘Shooting Stars’. Beranjak dari Australia ke bagian timur dari Asia, giliran rapper asal Korea Selatan, Keith Ape untuk unjuk gigi. Terlambat tampil selama hampir 5 jam lebih membuat penampilan Keith Ape terasa sangat singkat bagi para underwater squad dibandingkan penampil-penampil sebelumnya. Membawakan hanya empat lagu termasuk ‘Diamonds’, ‘Underwater Bank’, dan single viralnya ‘It G Ma’, Keith Ape menutup penampilannya dengan menyisakan pertanyaan di benak sebagian penonton apakah benar sudah selesai atau akan kembali ke panggung membawakan encore, yang dijawab dengan pamitan undur diri “Thank you, Singapore”, membuat penonton lebih bertanya-tanya lagi.
Gelaran LaLaLa Festival ditutup oleh penampilan international guest star, Discovery tribute to Daft Punk. Meski sudah ketahuan bahwa yang tampil bukan Daft Punk asli, tetapi masih banyak penonton yang berharap duo elektronik asal Prancis itu yang akan tampil. Berdandan seperti Daft Punk dengan menggunakan helm dan baju hitam, Discovery membawakan lagu-lagu terkenal Daft Punk dengan kemasan yang lebih komersil. Menurut pengakuan dari salah satu panitia acara, diundangnya Discovery dan menamakan mereka sebagai mystery guest merupakan cara panitia untuk memperkenalkan penampil asal Australia ini kepada pendengar musik khususnya yang menghadiri LaLaLa Festival. “Sebenarnya tidak ada alasan khusus selain ingin mengenalkan Discovery sebagai tribute to Daft Punk, karena kami merasa mereka patut dikenal di luar Australia. Sebelumnya juga mereka sudah mengadakan tour keliling Australia dan tampil di Bali”, ungkap Fey selaku panitia acara LaLaLa Festival 2016.
Secara keseluruhan, LaLaLa Festival memiliki konsep dan tema yang sangat baik. Mulai dari line-up taraf internasional dan nasional yang menjadi daya tarik utama, kegiatan promosi yang gencar, konten-konten menarik, layanan seperti cashless system untuk melakukan pembayaran di venue yang dapat dikatakan sudah berskala internasional, sound system dan tata cahaya yang mumpuni, serta masih banyak hal lainnya yang berkaitan dengan teknis panggung dan acara. Tetapi, salah satu kekurangan terbesar dari keseluruhan acara ini adalah kurangnya perhatian terhadap kenyamanan dan keselamatan penonton yang datang. Miskomunikasi antar panitia dan persoalan teknis saat acara merupakan hal terbesar yang dapat dilihat bahkan dari kacamata pengunjung yang datang. Turunnya hujan yang menjadi force majeur melencengnya acara dari rencana bukan berarti bisa menjadi alasan utama LaLaLa Festival mendapatkan banyak complain dari para pemegang tiket yang harganya tentu tidak murah. Jauhnya jarak dari tempat parkir, kurangnya shuttle yang disediakan, kurangnya sosialisasi pada masyarakat, kemacetan panjang tanpa adanya rekayasa lalu lintas atau polisi yang mengatur, tidak terdapat sign menuju venue acara, kurangnya penerangan, koordinasi antar panitia yang kurang, dan banyak kekurangan lainnya dari segi teknis hingga tagline “The FIRST International Festival” yang disematkan mengundang banyak pertanyaan.
Sebenarnya, LaLaLa Festival bukan merupakan festival musik di hutan berskala internasional yang diadakan di Indonesia. Sebelumya ada RRREC Fest yang digelar di Perkemahan Tanakita, Sukabumi, Jawa Barat yang juga mengundang beberapa artis internasional yaitu Yellow Fang (Thailand) dan Sanotanotanpenz (Fukuoka). Memang jika dibandingkan dari musisi yang tampil dan konten acara yang disediakan LaLaLa masih menang jauh, tetapi hasil kinerja dilihat dari feedback para penonton tidak setimpal dengan tajuk internasional yang disematkan. Penonton dalam negeri yang notabene menjadikan sebuah kekurangan acara menjadi bahan bulan-bulanan di sosial media menghasilkan ribuan komentar di Instagram milik LaLaLa Festival. Mulai dari complain mengenai pakaian dan sepatu yang kotor, lelahnya perjalanan dari Bandung-Lembang yang memakan waktu berjam-jam, permintaan refund tenda dan token dari sistem cashless payment, hingga komentar-komentar di luar acara itu sendiri. Pihak LaLaLa Festival akhirnya meminta permohonan maaf dan memberikan penjelasan kepada para penonton yang merasa dirugikan.
Jika terus melihat dari sisi negatifnya, memang tidak akan pernah habis komentar yang akan dilontarkan. Bagaimanapun, LaLaLa Festival telah memberikan nuansa dan pengalaman yang berbeda bagi para penikmat musik di Indonesia. Artis-artis yang diundang telah serta merta memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk melihat penampilan langsung mereka didampingi dengan peralatan yang memuaskan. Belum lagi kesempatan memiliki stok foto yang berlimpah karena suasana hutan yang menambah estetika saat berpakaian a la Bohemian. Setiap acara pasti memiliki kekurangan dan kelebihan, baik dipengaruhi oleh alam ataupun human error. Hubungan saling menguntungkan antara pihak penyelenggara dan penonton hendaknya dijaga dengan lebih bijaksana. Semoga dalam gelaran berikutnya, jika ada, pihak LaLaLa Festival dapat lebih baik lagi dalam mempersiapkan segala hal tidak hanya teknis panggung tetapi kenyamanan dan keselamatan penonton, semoga juga penonton di Indonesia bisa lebih bijak lagi dalam menyampaikan aspirasi terutama melalui media sosial. Meski acara telah berakhir, nampaknya masih banyak hal yang belum selesai.