Foto oleh Salwa Nadira A.
Malam itu di bilangan Kemang Timur, Jakarta Selatan sebuah tempat nongkrong dan baca disulap menjadi acara musik yang super intimate dan seru. Kolektif ini menamakan dirinya Noisewhore. Pada awal mulanya, mereka hanyalah segelintir anak muda yang suka membuat zine dan memberi ulasan pada musik-musik pilihannya.
Saya ingat betul ketika pertama kali mendapatkan zine ini di acaranya Holytunes—yang merupakan zine fisik edisi ketiganya—penuh dengan artwork dan tulisan ringan jenaka yang tidak serius-serius amet nan membosankan.
Jumat (12/2) di tahun 2016, Reading Room menjadi saksi bisu atas gelaran pertama Noisewhore Live. Puluhan penonton yang memadati lantai dua Reading Room dan band-band yang main seperti Bedchamber juga pihak penyelenggara, Noisewhore sama sekali tidak mengetahui apa yang akan terjadi dua tahun setelahnya.
Sore kemarin, Minggu (4/3) selang dua tahun setelah Noisewhore Live pertama kali diadakan, ratusan anak muda sudah memadati Rossi Musik Fatmawati untuk menukarkan tiket yang sudah mereka beli jauh-jauh hari. Mereka datang untuk menyaksikan Peach Pit dan Sunset Rollercoaster. Setelah seminggu sebelumnya, Sunset gagal menghibur Jakarta karena kendala teknis yang diakibatkan oleh kelalaian promotor Thailand.
Noisewhore dengan sigap membuat keputusan-keputusan yang profesional dan sangat win-win solution. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan soal tiket. Ide ini sangatlah gila: memperbolehkan penonton yang membeli tiket hari pertama datang ke gelaran Noisewhore hari kedua dan sebaliknya. Penonton yang juga berhalangan hadir untuk menonton Sunset Rollercoaster yang dipindahkan pada hari kedua berhak mendapatkan refund dari pihak penyelenggara. Semua benar-benar tidak ada yang dirugikan. Double combo!
Lantas ini menjadikan Noisewhore Live Day 2 sebagai acara terpadat yang pernah diadakan di Rossi Musik Fatmawati Lt. 4. Sekitar 500an orang datang pada malam itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 18:30, itu berarti pintu masuk menuju venue akan segera dibuka. Tangga menuju venue pun ramai dengan antrean pengunjung yang tak sabar masuk dan mengisi ruang-ruang kosong demi mendapatkan tempat dengan visual dan audio yang baik.
Wils membuka gelaran Noisewhore Live Day 2 dengan sangat tajam. Riff-riff gitar yang kasar secara intens mencabik-cabik suasana dingin yang masih bisa kita rasakan di menit-menit awal konser dimulai. Trio post-hardcore asal Tangerang ini membawakan tujuh buah lagu yang keempat lagu di antaranya adalah lagu-lagu yang ada dalam EP demo mereka seperti, “Homecoming” dan “Tried To Be A Punk”.
Selanjutnya, Sugarsting mengambil alih stage dengan memilih “Bragging Star” sebagai lagu pembuka. Unsur pop 90an masih terasa sangat kental. Muka-muka familiar akan anda temukan dalam band ini. Dari Peter, punggawa Anoa Records hingga Anida yang juga merupakan bassist band hardcore lokal kenamaan, Dental Surf Combat. Impresi saya tentang cerianya band ini luntur seketika saat mereka menutup set dengan meng-cover “Delaware”-nya Drop Nineteen yang diakhiri dengan penuh kebisingan.
Tiba saatnya BAP naik panggung. Kendala teknis yang menganggu sejak awal acara tadi pecah telur saat BAP menghentikan set-nya dan secara spontan bertanya kepada penonton, “Gimana? Lanjut gak, nih?” disambut sorak sorai penonton juga teriakan “Lanjut!” “Lanjut” yang datang silih berganti mendukung BAP untuk melanjutkan set-nya. Kondisi sound yang dihasilkan pada saat itu sangatlah treble. Namun, BAP berhasil menuntaskan set dengan baik. Dalam penampilan kali ini, BAP juga mengundang Kara Chenoa untuk berkolaborasi di salah satu lagunya.
Bedchamber, band kenamaan ibu kota yang baru saja merilis album bertajuk “Geography” pun naik ke atas panggung diiringi oleh tepukan tangan para penonton, bendera Bedchamber pun terlihat berkibar di area sisi panggung. Lagu “Geography” yang dikumandangkan menjadi tanda awal penampilan dimulai.
Penampilan Bedchamber sebagai band lokal terakhir menjadikan Rossi Musik Fatmawati panas. Moshpit dan crowdsurfing yang tak terbendung hingga teriakan “We want more.. We want more..” saat Bedchamber menyelesaikan “Out of Line” yang direncanakan sebagai lagu terakhir. Pada akhirnya, “Perennial” didapuk sebagai encore.
Suasana kian memanas, kini yang ditunggu-tunggu pun datang. Peach Pit, unit indie rock yang berasal dari Kanada ini berhasil membuat penonton semakin maju memadat ke depan. Jarak antar penonton pun hanya beberapa jengkal saja. Ruang-ruang di mana udara segar bisa dirasakan sudah tidak terasa lagi ditambah AC seadanya yang hanya mengeluarkan udara saja. Beruntung, Peach Pit berhasil membayar tuntas semua kegelisahan itu.
Set yang dibuka dengan “Drop The Guillotine” langsung disambut baik oleh penonton. Lirik demi lirik diteriakan dengan lantang. “Thank you so much! Wow, this is very crazy. This is our very first time in Jakarta” ujar Neil pada jeda di antara lagu kedua dan ketiga. Tak lama dari itu, seorang penonton melemparkan sebungkus mie goreng ke arah Neil, “It’s my favorite. It’s mie goreng” sambut Neil yang dibalas tawa dan tepuk tangan penonton.
Peach Pit terus menggempur dengan lagu-lagu andalannya seperti “Peach Pit” “Techno Show” “Tommy’s Party” hingga “Seventeen”. Peach Pit menutup set-nya dengan meng-cover sebuah dancefloor anthem lawas yang berasal dari Chuckberry, “Johnny B Goode”. Sadar atau tidak, Rossi Music Fatmawati baru saja dibuat bergoyang seakan-akan terjadi gempa. Penampilan Peach Pit yang interaktif dan enerjik membuat malam itu sangatlah spesial.
Noisewhore Live kali ini ditutup oleh Sunset Rollercoaster yang dijadwalkan ulang untuk main pada hari kedua ini. Band yang terkenal karena hit “My Jinji” ini kembali mendinginkan suasana. Setelah berpanas-panas ria mengeluarkan keringat bersama Peach Pit. Sunset Rollercoaster siap membawa anda ke tahap yang berbeda.
Seperti sebuah tahapan dalam senam, lagu-lagu Sunset Rollercoaster cocok untuk digunakan sebagai relaksasi. Dibuka dengan “Burgundy Red”, rasa lega akan batalnya menonton mereka di minggu sebelumnya terbayar sudah. Bagaikan umrah, unit city pop yang berasal dari Taiwan ini berhasil memberikan sentuhan spiritual di sepanjang set bergulir. “Greedy” “Cool Lullaby” “New Drug” “Slow” “I Know You Know I Love You” adalah beberapa deretan lagu yang berhasil dibawakan secara apik. Total 9 lagu dibawakan pada malam itu dengan “My Jinji” sebagai penutup.
Menyaksikan mereka membawakan langsung lagu-lagu andalan yang terkanal berkat YouTube atau pun Spotify secara baik adalah sebuah momen yang tidak boleh dilewatkan. Mereka berhasil men-deliver ini semua dengan baik dan menjadikan kita seperti bersetubuh dengan karya-karyanya. Rasanya, festival-festival Jazz ternama harus menyesal karena Noisewhore terlebih dahulu membawa mereka ke Indonesia.
Terlepas dari semua kendala yang terjadi selama acara ini berlangsung. Noisewhore adalah refleksi semangat anak muda Indonesia, bukan hanya Jakarta semata. Bermula dari sebuah kolektif kecil-kecilan yang bertransformasi menjadi sebuah promotor yang patut diperhitungkan saat ini. Noisewhore bukan hanyalah angin segar untuk Jakarta atau kawasan geografis tertentu saja. Namun, Noisewhore adalah masa depan Indonesia.