Awal perkenalan saya dengan band folk-rock asal Bandung ini adalah ketika saya datang ke sebuah acara di Fisip Unpad pada tahun 2012. Saya masih ingat mereka membawakan lagu Time They’re Changin’ milik Bob Dylan. Lagu rakyat amerika itu dibawakan dengan enerjik tanpa cacat. Malah menurut saya mereka membawakan lagu itu dengan nyaris sempurna. Walaupun saat itu mereka bukanlah headline utama dari acara tersebut. Jujur, awalnya saya underestimate dengan band ini, wajah-wajahnya yang “cukup tua” dan terlihat malas membuat saya berpikir bahwa mereka sepertinya mereka bukan band yang serius. Namun, anggapan awal saya itu ternyata salah dan wajib dicatat juga oleh kalian agar tidak menganggap mereka adalah band folk kacangan.
Tak terasa perkenalan saya yang sudah berlangsung tiga tahun ini menghasilkan suatu rasa penasaran untuk mendengarkan anak-anak dari buah pemikiran mereka. Tepat pada Sabtu (28/3) kemarin band yang terdiri dari Galih Nugraha (vokal dan gitar), Abah Donny (rhytm gitar), Bagan (drum), Galant (bass),Rasus Ono (tin whistle), Yadi (gitar & mandolin) dan Yogi (perkusi) ini memecahkan rasa penasaran saya dengan melahirkan anak mereka yang pertama bernama Anak Sungai.
Anak sulung Deugalih & Folks ini dibungkus dengan artwork kolase yang lucu karya Resatio dan diantarkan dengan cinta pada toko-toko kaset oleh Demajors. Jika kalian coba mendengarkannya dengan seksama, 10 lagu yang dinyanyikan oleh Galih dkk dalam Anak Sungai ini memiliki dua tema utama yaitu alam dan anak-anak. Mungkin suasana yang paling tepat untuk mendengarkan lagu-lagu mereka adalah ketika duduk santai di taman atau menikmati angin pagi di hamparan sawah dekat rumah nenek. Berikut adalah review lagu-lagu Deugalih & Folks :
Anak Sungai
Sebuah lagu pembuka yang memulai perkenalan saya dengan anak ini. Petikan gitar nylon yang jelas terdengar di awal lagu akan membawamu menuju perjalanan si Anak Sungai. Lirik yang dipersembahkan untuk seseorang bernama Yadi ini terinspirasi dari cerita The Adventures of Huckelberry Finn karya Mark Twain.
Di Bawah Bendera
Perjalanan mulai menyenangkan. Suara banjo, mandolin, dan tin whistle yang khas di lagu ini seakan-akan mengajak pendengar untuk bermain bersama. Walaupun lagu ini bercerita tentang sugai terkotor di dunia, Galih ingin mengajak pendengarnya untuk tetap bersenang-senang.
Bunga Lumpur
Lagu yang paling beda di antara lagu yang lain. Lagu ini lebih menaikkan unsur gypsyfolk yang terdengar classy dan singable. Tidak salah Deugalih & Folks menyimpan Bunga Lumpur sebagai single pertama. Lagu ini memang enerjik.
Minggu Pagi
Salah satu lagu yang akan mengajakmu untuk sedikit bersenandung dan bergumam. Jika kamu bukan orang yang pemalu, mungkin kamu akan bernyanyi dan memutar ulang lagu ini. Sangat cocok didengarkan sesuai dengan judul lagunya: saat minggu pagi.
Buat Gadis Rasid
Musikalisasi puisi Chairil Anwar yang diracik dengan apik. Belum pernah saya mendengar musikalisasi puisi yang enak untuk dinyanyikan dan mudah diingat. Namun, sayangnya teriakan Galih pada kalimat “The only possible non-stop flight” kurang garang seperti yang sering dia tampilkan di panggung.
Ilalang
Minim lirik tapi nada-nadanya sangat menyejukkan. Tentang sawah dan bocah-bocah Indramayu. Kamu akan terbawa suasana tenang dan damai di lagu ini.
Heyya Kid
Satu-satunya lagu yang liriknya bukan dibuat oleh Galih. Rasus “Ono” Budhoyono, sang peniup tin whistle mengambil alih pembuatan lagu ini untuk dipersembahkan kepada Rayyinda, anak bungsunya. Suasana yang hampir sama dengan Di Bawah Bendera yaitu suasana ceria dan menyenangkan.
When No One Sing This Song
Lagu ini mengingatkan saya pada lagu-lagu folk balada yang sering dimainkan oleh Bob Dylan. Dari lirik yang ditulisnya, Galih mencoba bercerita tentang kegelisahannya akan perang yang sering terjadi di Timur Tengah.
Earth
Lagu pertama Galih yang dibuat tahun 1998. Lagu yang bercerita tentang diskriminasi etnis tionghoa di Indramayu ini akan membawamu ke titik klimaks dari perjalanan Anak Sungai. Suara gitar elektrik dan teriakan Galih di akhir lagu membuat saya merinding dan berkata “gila! Edan pisan!”
Becoming White
Secara musik, mungkin lagu ini bisa dibilang anti-klimaks. Namun, jika kamu membaca liriknya, kamu akan menemukan makna yang dalam. Lagu yang bercerita tentang bagaimana semua orang ingin menjadi putih sebagai simbol kecantikan. Padahal kecantikan itu tidak diukur dari warna kulit tapi dari aura-aura lain yang terpancar dari dalam diri. Lagu penutup yang mengantarkanmu pada rasa penasaran bagaimana perjalanan Deugalih & Folks selanjutnya.
Secara keseluruhan, Album ini memang menjadi bagian yang menyenangkan dari rentetan cerita yang Deugalih & Folks tawarkan pada semua orang. Secara personal, saya cukup puas dengan album perdana mereka walaupun lagu “Sekolah Impian” tidak masuk dalam bagian si Anak Sungai ini.