Mendengar seseorang tanpa sadar melontarkan kata-kata berkonotasi jorok, refleks sering kali kita sebut sebagai “latah”. Latah, atau dalam istilah ilmiahnya Echopraxia, adalah fenomena meniru gerakan fisik atau ekspresi tanpa kendali. Jika kita tarik ke dalam kehidupan, latah ini bisa dianalogikan sebagai dorongan bawah sadar yang memicu seseorang untuk memulai atau menjalankan sesuatu.
Ruh, grup band psychedelic asal Jatinangor, merespon ketidaksengajaan mereka bertemu menjadi sebuah karya. Bagaimana momen pagebluk membentuk karakter tiap individu, lalu rezeki bertemu di kampus tepat di kaki Gunung Manglayang, dan faktor keberuntungan memiliki visi dan misi yang sama. Hal tersebut pada akhirnya menjadi racikan yang apik dan senada dalam menjajaki langkah baru bagi mereka. Album debut yang bertajuk ‘Echopraxia’ ini merangkumkan kisah perjalanan mereka yang penuh ketidaksengajaan dalam durasi 55 menit.
Jauh sebelum album ‘Echopraxia’ rilis di berbagai platform, Ruh sendiri udah ga terlalu asing di telinga gua. Sang drummer yang merupakan kawan di kampus pun jadi salah satu alasan kenapa gampang banget kecantol sama band dan khususnya genre ini. Diluar dari itu, panggungan yang dibawa oleh Ruh tiap tampil selalu menjadi daya tarik bagi gua. Kayak ibarat masuk ke playground yang luas dan bebas untuk berekspresi, tetapi tetap menyisakan spiritual yang dekat dengan sang pencipta.
Perasaan eksplorasi tanpa batas inilah yang menjadi titik checkpoint ketertarikan selanjutnya pada Ruh. Terlebih saat mendengar kabar dari sang drummer (Maunk), bahwa mereka tengah menyiapkan album debut. Entah karena latah atau sekadar rasa penasaran, setiap kali melihat postingan Maunk yang berisi spoiler perjalanan rekaman mereka, keinginan untuk menyelami album baru mereka semakin menguat.
Sampailah pada hari peluncuran album Echopraxia. Dari track pertama hingga terakhir mengalun, suasana kos pagi itu seolah berubah menjadi lorong dimensi waktu yang tak berujung. Efek reverb merayap pelan, memainkan pikiran, dan menggema hingga menyentuh lapisan paling dalam kesadaran.
Forest crying, leafs starts falling down. Nature’s at the door.
Misty window, fishes shouting. All haze there’s no floating.
Flowers blooming, stench of nectar. Buzzing bees astray.
Towering mountains, rooting to the ground, they began to roar.
“Mountain Scoop” menjadi gerbang masuk ke dalam spektrum imajinasi, membawa interpretasi tentang perjalanan hidup setelah intro instrumental yang apik dari “Entrance“. Kehidupan digambarkan layaknya sebuah gunung yang kaya, kompleks, dan penuh dinamika. Air mengalir, bunga bermekaran, burung berterbangan, sementara gunung itu sendiri mengakar kuat ke dalam tanah. Sebuah pengingat bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri, melainkan tentang keterhubungan yang saling berkesinambungan antara individu dan makhluk hidup lainnya.
There’s two dinosaur, The meteor come crashing down tonight.
And love can’t die, suddenly feels like they’re tearing the night.
“MR AND MRS DINOSAUR” Menjadi track paling romantis di album ini, lagu ini mengingatkan gua pada Terbuang Dalam Waktu oleh Barasuara. Sebuah kisah cinta yang bertahan di tengah kehancuran, layaknya dinosaurus yang tetap bersama meski tak mampu menolak takdir yang kian mendekat. Romansa dan kehancuran melebur dalam narasi yang mencerminkan hubungan yang terus bertahan di tengah ketidakpastian hidup. Namun, cara pandang terhadap cinta menjadi sebuah pemicu bahwa mereka akan selalu dalam dekapan yang aman dan nyaman.
Save my eyes and my tears for the sun
Guide my legs for keeping out the sand
Sleepless at dawn while i suddenly riding in waves
Nuansa metaforis dan supranatural begitu kuat terasa dalam track “I See, Eye Sea”. Mata, laut, matahari, dan kutukan bukan sekadar elemen lirik, melainkan simbol yang memiliki kaya akan makna ataupun pesan. Sebuah doa maupun harapan untuk melangkah jauh dari sesuatu yang menahan maupun yang membuatnya tenggelam.
Lagu ini mensimbolasi perjalanan introspektif seseorang yang berusaha mencari pencerahan, melarikan diri dari batasan, dan menghadapi ketakutan. Pesan yang menjadi sebuah refleksi mendalam tentang pencarian makna hidup, perdebatan batin, serta godaan dunia luar yang bisa membawa seseorang pada kehancuran atau justru menuju pencerahan.
Eksplorasi yang telah dilalui mulai dari kisah percintaan, pencarian jati diri, keikhlasan, kesendirian maupun tentang perjuangan. Namun, pada akhirnya kita akan kembali pada sang pencipta segalanya melalui track terakhir yaitu “Namast”. Penciptalah yang mengukir takdir dan kisah kita dalam dunia ini. Lika-liku yang telah terjadi maupun yang akan datang mempunyai sebuah makna untuk kita selalu berusaha dan mencari celah agar diri kita menjadi yang terbaik.
Semoga waktu tetap pada garisnya, terima kasih, kesekian kalinya setiap hari mustinya ada
pada ini itu yang terlalu membosankan sampai-sampai pada waktu yang tidak bisa dibolak
aku terbangun dari tidurku seraya mengucap semoga hidup ini berjalan baik dan baik serta
baik. Sejahtera, Bahagia, semoga lancar, sehat, aman.
Kalau waktu terus mengecil kita ada untuk esok, melampaui kemarin, pada titik yang baru.
Kalau waktu terus membesar kita ada untuk kemarin, melampaui hari esok, pada titik yang
sama.
Doa yang penuh harapan tentang kebermanfaatan diri kita ataupun orang lain. Di sisi lain jangan lupa untuk selalu bersyukur atas apa yang kita dapat dan kita rezekikan. Penutupan yang indah dari sebuah album debut yang tak hanya memberikan sebuah pengingat bagi sang pembuat. Tapi juga bagi pendengar agar bisa meresapi lebih dalam dan mensiasati nya untuk kebaikan kedepan nya.
12 track yang cukup banyak untuk sebuah album debut dari Ruh. Lirik yang ditulis melalui metafora dan tak terlalu gamblang menciptakan ruang kebebasan bagi para pendengar. Kebebasan ini mencakup bagaimana para pendengar pun bisa mengartikan sesuai interpretasi masing-masing untuk setiap lagunya atau album sekalipun. Ruh ibarat menyediakan sebuah kolam yang luas dan sudah ditata rapi tetapi tetap bisa digunakan oleh siapapun sesuai keinginan dan kebutuhan masing-masing pengunjung.
Berawal dari latah yang sekarang menjadi sebuah inisiatif dan menghasilkan. Semoga momentum latah itu pun dapat menginspirasi untuk menjadi titik tumpu agar selalu berkarya dan bertanggung jawab atas apa yang diperbuat untuk orang banyak.
Karya yang tak lekang oleh waktu maupun tragedi didalamnya menyediakan sebuah lorong panjang bagi setiap pendengarnya. Bagaimanapun interpretasi kita dalam mengartikan album ini, Ruh telah berhasil membuatkan ruang interaktif antara pembuat dan penikmat meskipun tak bertemu secara langsung. Kini album ‘Echopraxia’ telah dapat dinikmati di platform kesayangan kalian.