Hal-hal manis dalam hidup terkadang adalah mengenang masa lalu yang indah. Seperti membuka archive Instagram di saat bosan membunuh. Sebuah cuplikan video yang diambil dua tahun lalu mengantarkan kita ke berbagai memori dari visual maupun pendengaran. Ada halnya dalam melihat sebuah gambar terciptalah suatu suara dalam pikiran. Misalnya deburan angin kencang, suara burung bersautan, atau bahkan ingin menambahkan scoring musik lawas ala Warkop DKI. Anggap saja video yang ditampilkan adalah teman-teman kampus mu saat sedang berbuat konyol. Kadang saya pun berfikir mengapa musik selawas scoring Warkop DKI dapat menguasai pikiran dalam imaji saya untuk penambahan suasana video yang lucunya nggak ketolong. Harusnya ada alasan subjektif mengapa saya kelahiran 1999 yang nggak pernah merasakan euphoria trio Warkop DKI tayang bisa menikmati musik era-sebelum-saya-lahir.
Musisi dan Band Favorit
Keberadaan musik milik The Beatles salah satu contoh yang tidak pernah luntur dinyanyikan dari berbagai panggung ke panggung (baca: era ke era). Tidak asing lagi pada perhelatan musik dengan tajuk “Beatles Night” yang biasanya diadakan pada sore hari di beberapa mal di Ibukota merupakan tradisi mingguan untuk menghibur pengunjung. Acara tersebut biasa dinyanyikan oleh fans setia The Beatles, Beatlemania, dalam tujuan tribute band asal Liverpool itu. Menurut pengakuan teman saya musik The Beatles itu ‘influencer’ hidupnya dari alunan sampai liriknya. “… Sebenarnya, gara-gara The Beatles yang sering diputar sama temen gue sampe ke sejarah-sejarahnya sih,”, imbuhnya.
Begitu pula bagi mereka yang mencintai musik-musik dari Guruh Soekarno Putra berjudul “Galih dan Ratna” yang dinyanyikan oleh mendiang Chrisye, sering kali menjadi sebuah ikon remaja Indonesia sedang jatuh cinta. Bahkan salah satu komunitas seni pagelaran dan musik, Swara Gembira, adalah komunitas yang dibentuk oleh anak muda untuk melestarikan seni dan budaya Indonesia di lintas generasi. Pagelaran oleh Swara Gembira ini banyak berangkat dan terinspirasi dari karya-karya milik Guruh Soekarno Poetra. Menarik kesimpulan dari situ, bahwa kegemaran generasi milenial dengan musik era 70 juga lekat pada seorang budayawan dan dapat mengemasnya kekinian namun tetap kental dengan nuansa musik masa lalu.
Urusan musik era 60-70, saya pribadi suka dengan band Fleetwood Mac. Jika ditanya lagu pertama yang buat saya kepincut adalah lagu yang berjudul “Go Your Own Way” dalam album Rumours yang melambungkan karier band Fleetwood Mac. Lagu-lagu yang saya sukai tak berhenti di album itu saja, menurut saya ketika saya menyukai suatu band saya turut mengulik sisi humanis dan lika-liku perjalanan sebuah band itu. Hal ini bisa jadi alasan mengapa generasi kini menyukai band lawas, alasannya terkadang klise, namun setiap lagu dalam rilisannya kadang menuangkan sebuah cerita inspirasional dan unik.
Eksistensi
Kembali ke band Fleetwood Mac tadi, percaya atau tidak percaya band yang berdiri pada tahun 1967 itu kembali merajai tangga lagu Billboard 2020 lalu dalam tembangnya yang berjudul “Dreams” . Lagu tersebut eksis kembali lantaran seorang pengguna TikTok yang sepertinya sedang berseluncur menggunakan skateboard sambil meminum cranberry juice menggunakan lagu “Dreams” sebagai latar lagu. Hal tersebut turut mengembalikan eksistensi album Rumours milik Fleetwood Mac.
Jika ditelisik kita bisa ambil contoh eksitensinya di Indonesia, lagu berjudul “C.H.R.I.S.Y.E” milik Diskoria, Laleilmanino, dan Eva Celia mampu mengenalkan sosok Chrisye yang dahulu karyanya digandrungi oleh remaja pada masanya. Melalui lagu ciptaan Diskoria dkk itu ditandai sebuah bentuk perpanjangan mahakarya milik Chrisye. Lagu seperti “Juwita” atau “Kala Cinta Menggoda” bisa jadi peneman setia remaja generasi Z tamasya bersama kekasihnya.
Ada satu momentum dalam hidup saya sekitar 11 tahun lalu, saya masih remaja beringus kala itu yang gemar menonton televisi sepulang sekolah. Dengan baju seragam dan kaos kaki masih terpakai, serial asal Amerika Serikat, Glee, tayang di salah satu stasiun tv lokal. Jujur itu pertama kali saya dengar tembang “Don’t Stop Believing” dinyanyikan oleh Glee cast. Yang mana saat itu saya cukup penasaran siapa pencipta dan pengarangnya, nyatanya lagu cover itu membawa saya ke galeri musik milik band Journey.
Tidak hanya itu saja, serial yang menceritakan remaja sekolahan di Amerika Serikat ini lekat dengan aransemen ulang band-band tahun 1960 hingga yang kekinian kala itu. Glee sukses membangun saya melek dan mengenal Billy Joel, Air Supply, KC & The Sunshine sampai Etta James. Maklum, saya juga membeli rilisan fisik album Glee, alhasil saya turut mengulik siapakah yang mereka nyanyikan pada setiap episode-nya.
Relevansi
Saya jujur tertegun dengan pilihan artis yang dipilih oleh kawan baru saya, yang saya numpang nebeng ke kostan saya kala itu. Rentetan lagu populer dari band lawas seperti Queen, The Jackson 5, ABBA, hingga Blondie diputar di dalam mobil perjalanan dari Bandung menuju Jatinangor. Meskipun beberapa lagunya familiar namun lupa-lupa ingat penyanyinya, justru saya iseng ‘shazamin’ alih-alih temen baru saya ini selera musiknya setelah itu saya anggap menarik. Ketika bertemu kembali saya iseng bertanya mengapa ia menyukai band lawas. Jawabannya simple, “soul nya itu lho, dapet banget” katanya bersemangat. Tapi benar sih, ketika saya mendengar lagu milik Queen bawaan saya juga ikutan mau mencet-mencet tuts piano saat lagu diputar. Lagu-lagu lama juga mampu membawa perasaan naik turun yang bisa relatable sama masalah hidup kita.
ika kembali kepada sumber relevansi pada tembang lawas, saya bisa katakan bahwa musik-musik milik Iwan Fals juga menghadirkan relevansi yang nggak kalah menarik. Apalagi bicara soal politik kepentingan yang mempengaruhi hajat hidup banyak orang. Iwan Fals justru menciptakan musik dengan melantukan lirik-lirik kritis kepada pemerintah kala itu. Dengan lagunya ia menyuarakan isu politik di negara Indonesia. Salah satu lagunya yang berjudul “Surat Buat Wakil Rakyat” dan “PHK”, hingga kini lagu miliknya masih kerap digunakan sebagai simbol perlawanan dan Iwan Fals menurut saya sukses menyuarakan konflik yang relevan sampai saat ini. Apalagi tidak hanya bermodalkan lirik kritis, justru Iwan Fals juga punya tembang romansa yang berkali-kali mengudara di stasiun radio masa kini. Salah satunya “Ijinkan Aku Menyayangimu” yang siapa sih remaja masa kini yang tidak galau saat sedang masa PDKT.
Saya cukup yakin mengapa ketika lagu lawas lagi-lagi bisa relevan sama hidup masa kini sewaktu saya lagi hobi dengar band Ace of Base dan keputarlah lagu “The Sign”. Saya tau lagu itu namun saya tidak menilisik jauh liriknya, namun teman saya iseng menyanyikan dengan membaca liriknya. Reaksinya cukup membuat saya terkut, “cuy ini gue banget sama gebetan gue yang tadi gue ceritain!” dan ia menyanyikannya 24/7 selama kami sekosan. Padahal saya yakin banget waktu Ace of Base rilis lagu dan gempar, boro-boro tau radio, bisa baca tulisan nama band aja mustahil. Maka dari itu jika ada teman gemar dengan lagu lawas saya yakin punya makna personal sehingga masuklah lagu-lagu itu ke dalam daftar putar milik mereka.
Mungkin Saja, Bisa Jadi..
Kehadiran hobi orang tua yang gemar dengan perkembangan musikalisasi juga berpengaruh. Dalam hal ini, contohnya, salah satu pewarta musik senior mempengaruhi selera musik sang anak. Tak ambil pusing, ini saya ambil contohnya kebetulan lagi-lagi teman sepergaulan. Saya suatu waktu sadar pilihan musiknya jarang sekali yang kekinian. Daftar putarnya selalu berputar pada Led Zeppelin, The Rolling Stone, dan bisa juga musisi dengan judul local taste 80s yang diisi oleh musisi Candra Darusman dan God Bless turut mewarnai pilihan seleranya. Tak ayal, ia juga mendirikan sebuah band yang banyak sekali pengaruh dari musik-musik yang didengarkan tadi.Saya rasa peran orang tua pada waktu masa kecil bisa menentukan selera musik kita sekarang.
Nggak dipungkiri, cerita teman-teman saya yang orang tuanya hobi setel musisi favorit jaman mereka muda juga kejadian sama hidup saya. Sedari kecil bapak saya hobi dengerin musik melalui tape player jadulnya dari mulai lagu-lagu Bee Gees, Lee Ritenour, Genesis, sampe Diana Ross. Beliau juga melantunkannya melalui piano kesayangannya tiap minggu pagi, walau mengusik waktu weekend saya, dan permainan pianonya lama kelamaan tak lagi memainkan lagu lawas. Saya menyadari dengan saya kembali mendengar lagu band-band lawas meskipun saya nggak lahir saat itu juga, pengaruh orang tua saya lah yang menjadi pembuktian bahwa generasi zoomers juga punya cerita dengan lagu lawasnya masing-masing. Kalau saya diizinkan bilang, karena bapak sayalah sumber dan alasan mengapa saya senang dan mengharagai karya musik.